Pesan utama yang di sodorkan oleh Al-Qur'an ialah membaca. Menurut Quraish Shihab, "membaca" memiliki makna luas diantaranya kegiatan memahami, memikirkan, merenungkan, menganalisis, mempelajari, mengamati dan lain sebagainya. Semua kegiatan tersebut identik dengan dunia pendidikan.Â
Jadi, bisa disimpulkan pesan utama sekaligus pertama yang di bawa oleh Al-Qur'an ialah pesan pendidikan. Membaca ini memiliki kekuatan besar yang berpengaruh terhadap arah sebuah peradaban. Fahruddin Faiz pernah berkata "Kuasai dunia dengan ilmu, jalannya adalah belajar, senjatanya adalah menulis, kekuatannya berasal dari membaca. Maka, Iqra', bacalah!"
Pendahuluan
Membaca peradaban dapat dilaksanakan oleh manusia yang terdidik, manusia pembelajar, manusia yang berkesadaran dan berkeadaban. Lantas bagaimana cara membentuk manusia terdidik, pembelajar, berkesadaran dan berkeadaban? Ya, itu semua melalui proses pendidikan.Â
Pendidikan pertama yang di terima oleh seorang bayi ialah orangtua nya. Mengapa perlu di didik sedari bayi? Menurut Walter Houston Clark, kebanyakan para psikolog berpandangan bahwa bayi yang baru lahir keadaannya lebih mendekati binatang ketimbang keadaan manusia (W.H. Clark, 1964: 3). Atas alasan itu, bayi harus diberi pendidikan orang tuanya.
Pertumbuhan evolusioner menjadi anak hingga remaja bahkan dewasa, selain menerima pendidikan dari orangtuanya, ia pun mesti menerima pendidikan kelembagaan untuk menumbuhkan, mengembangkan dan membentuk pikiran, watak dan kemampuan fisiknya. Bagi Gerald L. Gutek, pendidikan kelembagaan merupakan upaya berkehidupan yang berbudaya (Gutek, 1988:4). Permasalahannya, bagaimana peran pendidik di lembaga pendidikan dalam membentuk murid pembelajar? Murid yang berkesadaran? Bukankah akhir-akhir ini malah justru banyak kasus kekerasan di dunia pendidikan.Â
Mengapa bisa berbanding terbalik antara realitas sosial dengan cita-cita ideal pendidikan Indonesia? Mengapa seseorang yang dihasilkan melalui lembaga pendidikan terkadang tidak mempunyai pertanggungjawaban moral seperti para pejabat yang merasakan pendidikan sampai perguruan tinggi malah melakukan tindakan korupsi, gratifikasi, dan nepotisme? Atas masalah tersebut, tulisan reflektif ini di goreskan.
Antara Idealisme dengan Fenomena: Berjarak!
Idealisme pendidikan Indonesia sangatlah mulia, benar-benar ingin membentuk manusia keindonesiaan. Tapi, faktanya berbanding terbalik. Filosofi pendidikan dari Ki Hajar Dewantara: Tut Wuri Handayani yang bermakna setiap anak didik diberikan kebebasan untuk menemukan person-nya, kecenderungannya, kesenangannya dan bakatnya (Aris, 2023: 4). Namun itu dihalangi oleh 'pendidik yang feodal', yang tiap kemauannya harus di ikuti oleh murid-muridnya.Â
Mengkritik pandangan guru di nilai kurang sopan, bahkan murid-murid tidak diperkenankan untuk mengeluarkan suara gagasannya sehingga ia takut berpendapat dan jika ingin berpendapat ia selalu menyebut kata "Maaf Pak/Bu". Apakah mengeluarkan pendapat sebuah kesalahan? Sebuah dosa besar? Jelas tidak.
Mau sampai kapan seperti ini?! Anda ingin murid-murid yang anda didik sukses, tapi anda sendiri malah mematikan pikiran, watak dan karakter murid anda. Tujuan dari pendidikan tidak hanya sekadar proses transformasi ilmu, juga ada yang lebih utama yaitu membentuk murid pembelajar; murid yang berkesadaran yaitu murid yang selalu haus dan lapar akan pengetahuan dan ia senantiasa peka atas dirinya dan lingkungannya.Â