Seperti biasa, setiap akhir pekan Saya menghabiskan sore di beranda rumah. Di temani secangkir kopi, dan pisang goreng buatan istri sudah cukup mumpuni. Namun, sore ini bukanlah sore yang biasa. Saya sedang menunggu tamu yang sudah saya undang jauh-jauh hari. Tidak lama datanglah tamu itu. Saya bergegas menyambutnya. Ia merapatkan kedua telapak tangannya dan berkata, “Namaste.” Kacamata bulat, rambutnya yang botak, dan memakai tongkat, persis seperti itulah Saya melihatnya di buku-buku sejarah. “Sungguh suatu kehormatan Tuan Gandhi dapat memenuhi undangan Saya.” Tidak sampai lima menit kemudian, datanglah tamu yang lain. Seorang Afro Amerika, dengan setelan jas hitam lengkap. “Selamat datang Tuan King” kataku. Ya, tamuku kali ini adalah Martin Luther King jr (MLK). Saya menunggu tamu terakhirku, dan ah....tak lama ia juga datang. Senyum mengembang di wajahnya. “Ah, Madiba.., mari-mari, terima kasih atas kedatangannya.” Saya menyalaminya. Seperti biasa, ia mengenakan kemeja batik. Tamuku yang terakhir ini adalah Mandela.
Saya :“Mari, silakan duduk. Maaf, menganggu kesibukan Tuan-Tuan. Saya benar-benar membutuhkan saran dari Tuan-Tuan. Saya yakin, Tuan-Tuan sangat menguasai topik ini. Karena topik inilah yang Tuan perjuangkan selama ini. Langsung saja kepada point-nya , yakni apa respon yang mesti kita pilih dan lakukan di tengah kondisi dan sistem yang serba menindas”
MLK : “Ah, pertanyaan ini sebaiknya dijawab Tuan Gandhi, saya tidak ingin mendahului...beliaulah inspirasi kami, bukan begitu Tuan Mandela ?
Mandela : “Betul, saya setuju, silakan Tuan Gandhi lah yang harus memulai...
Gandhi merapatkan kedua belah tangannya, kemudian berkata : “Ah, Tuan-Tuan ini sangat merendah, apa yang Tuan-Tuan lakukan sesungguhnya merupakan jawaban terhadap pertanyaan Tuan Rumah....
MLK : “Sungguh Tuan Gandhi, Andalah inspirasi kami. Pada penganugerahan Nobel 1964 lalu, saya menegaskan bahwa Andalah contoh kesuksesan perjuangan tanpa kekerasan. Anda menantang Kerajaan Inggris Raya...Anda berjuang hanya dengan senjata kebenaran, kekuatan nurani, dan keberanian. “
Mandela menimpali : “Perjuangan Anda Tuan Gandhi, melintasi ruang dan waktu. Kami di Afrika Selatan juga tidak bisa dipisahkan dari pengaruh Tuan. Ini saya tegaskan dalam artikel saya “The Sacred Warrior.”Anda adalah seorang pejuang suci, seorang revolusioner antikolonial. Konsep Ahimsa, perlawanan tanpa kekerasan menginspirasi perjuangan anti kolonial dan anti rasis di abad ini. Namun, dalam artikel itu pula saya menegaskan tidak di semua situasi dan kondisi hal itu bisa dilakukan.”
Saya : “Kalian bertiga dikenal sebagai tokoh anti kolonial. Memimpikan kesetaraan di antara sesama manusia, namun saya baru tahu, ternyata pada derajat tertentu perlawanan tanpa kekerasan tidak bisa selalu dilakukan, itukah yang anda maksud Tuan Mandela ?”
Mandela : “Ya, tapi mungkin Tuan Gandhi bisa menjelaskannya...
Gandhi : “Pada suatu kesempatan saya pernah berkata, “ketika pilihan hanyalah dua, yakni kepengecutan atau kekerasan, saya akan menyarankan kekerasan..saya lebih baik menggunakan tangan saya untuk memertahankan kehormatan daripada diam saja menyaksikan aib berlangsung.
Saya : Berarti prinsip perjuangan tanpa kekerasan bukan berarti tanpa kekerasan sama sekali ?
Gandhi : “Umpamanya seperti ini, “Saya memiliki sepetak perkebunan. Kebun itu sering dirusak oleh kera-kera liar yang datang dari hutan. Saya sadar sesadar-sadarnya bahwa semua bentuk kehidupan suci adanya, dan patut dihormati. Pun saya sepenuhnya memercayai prinsip Tanpa kekerasan. Namun, apa daya, ada kalanya saya mesti menggunakan kekerasan untuk mengusir kera-kera itu. Saya tidak ingin berbuat itu, tapi saya juga sadar betapa pentingnya hasil kebun itu bagi keberlangsungan hidup kita. Masyarakat di manapun tidak bisa bertahan hidup tanpa sawah, tanpa kebun dan hasilnya. Dengan penyesalan yang sangat dalam, hingga saat ini pun terpaksa saya mesti tetap mengusir kera-kera yang merusak tanaman itu, hingga pada suatu ketika saya menemukan cara lain untuk melindungi sawah” (Krishna, 2008:xxiv).
Mandela : “Kalau boleh menambahkan, konsep Ahimsa bukan berarti pasifisme. Itu adalah aksi. Itu adalah perlawanan. Seperti itulah yang saya maksudkan dalam The Sacred Warrior. Saya mengikuti strategi Tuan Gandhi, tetapi sampai pada suatu titik ketika penindas brutal tidak bisa lagi dihadapi dengan perlawanan tanpa kekerasan. Kekerasan di sini tanda kutip. Dari sudut pandang Si Penindas, Konsep Ahimsa Tuan Gandhi bisa saja disebut aksi teror bukan? Begitu juga perjuangan saya dengan teman-teman Afrikan National Congress (ANC). Saya menambahkan sayap militer di dalamnya. Namun, saya memilih cara-cara sabotase karena menurut saya cara ini tidak menimbulkan korban jiwa.”
MLK : “Dan jangan sampai dilupakan, Kami bertiga adalah pembaca Esai Thoreau, “Civil Disobediance.” menurutnya, kita harus melawan terhadap sesuatu yang salah. Pemerintahan yang amoral dan jahat dapat dilawan oleh setiap individu dengan cara tidak bekerja sama dengannya.”
Gandhi : “Saya pertama kali membacanya ketika saya berada dalam penjara di Afrika Selatan.”
Saya : “Dan Tuan Mandela benar-benar menjadi pembuktian dari kata-kata Thoreau, “tempat terbaik bagi manusia yang jujur adalah di penjara”
Mandela : “Itulah konsekuensi perjuangan. Ia harus siap dengan itu, bahkan yang lebih buruk dari itu”
Saya : “Maksud Anda kematian ? Itulah yang justru membuat saya tergelitik. Bukan tanpa maksud saya mengundang Tuan-Tuan. Di bulan Januari ini, Tuan Gandhi, begitu juga Anda Tuan King...Anda berdua harus berkorban nyawa. Kalian menjadi martir. Pertanyaan saya selanjutnya, apakah dengan kemartiran Anda berdua, kita jangan berharap lagi pada strategi non kekerasan ?”
Gandhi : “Saya pernah mengatakan, “perjalanan menuju Kebenaran melibatkan penderitaan, terkadang bahkan sampai kematian....“Saya melihat kehidupan di tengah kematian, kebenaran di tengah kebohongan, dan cahaya di tengah kegelapan.” “Sebaliknya, kemartiran Saya atau Tuan Martin Luther King tidak membuat jalan ini tertutup, justru semakin melebar. Di setiap zaman, di setiap massa, gaungnya tidak akan pernah berhenti. Tuan Mandela mengikuti jalan kami, dan Ia berhasil mengalahkan sistem apartheid di negaranya, dan Ia tidak menjadi martir. Ke depan, masih banyak Mandela-Mandela lain, mungkin di negara Anda juga ?”
MLK : “Oh, iya, bagaimana dengan keadaan Negeri Tuan sendiri ?
Saya : “Founding Father kami memiliki prinsip yang sama dengan Tuan. Namun, apa yang terjadi puluhan tahun setelah kami merdeka? Di era Reformasi yang katanya penuh kebebasan ini, praktek intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan justru tumbuh subur. Hingga kini, saudara kami, ratusan penganut Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat terkatung-katung menjadi pengungsi di negerinya sendiri selama 7 tahun. Bahkan pada 6 Februari 2011 lalu, Di Cikeusik Pandeglang, tiga orang dari mereka harus meregang nyawa. Nasib Kaum Syiah di Sampang, Madura tidak jauh berbeda. Belum lagi Jema’at GKI Yasmin yang tidak bisa beribadah di gereja-nya sendiri sampai saat ini. Apa saran Tuan-Tuan menghadapi kondisi seperti ini ?”
Gandhi : “ Setelah Saya tiada, bukan berarti persoalan diskriminasi, konflik suku, agama hilang dari India. Begitu juga Amerika Serikat, yang kata orang tanah kebebasan. Berkat perjuangan MLK, puluhan tahun kemudian negara Paman Sam memiliki seorang Afro Amerika yang menduduki kursi ke-Presidenan. Lantas, apakah setelah Obama menjadi Presiden, sikap rasis menguap ke udara ? Atau ketika Mandela menjadi Presiden, apakah konsep apartheid terkubur di Afrika Selatan dan di belahan dunia lain ? Tidak ! Perjuangan ini adalah perjuangan terus-menerus antara kejahatan dan kebenaran. Ia akan selalu ada. Kebenaran harus senatiasa diperjuangkan, begitu pula di tempat Anda !”
Mandela : “Ya, Anda harus selalu mewujudkannya, mengutip perkataan dari Tuan Gandhi, ....hal ini bisa dimulai dari mana Anda berada...”You must be the change you want to see in the world”
Saya : “Tapi terkadang, kami merasa sedikit,...merasa sendiri dalam perjuangan kami,...melawan pihak yang selama ini mengklaim dirinya mayoritas”
Gandhi : “Meskpun kamu hanya seorang, kebenaran tetaplah kebenaran...dalam perjuanganmu...mungkin awalnya mereka meremehkanmu, kemudian menertawakanmu, kemudian melawanmu, lalu kau keluar sebagai pemenang...”
Ketiga tamuku tersenyum kepadaku. Tiba-tiba penglihatan kabur, dan gelap. Bahuku terasa disentuh, dan ditepuk-tepuk. Mataku terbuka, dan di beranda tidak lagi nampak mereka bertiga, melainkan sesosok perempuan,..isteri saya. Rupanya saya tertidur dan dia mencoba membangunkanku....hemmm, sungguh mimpi yang sangat inspiratif, Saya akan berusaha mewujudkannya,..”You must be the change you want to see in the world” kata-kata Gandhi masih terngiang-ngiang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H