“You are free; you are free to go to your temples, you are free to go to your mosques or to any other place or worship in this State of Pakistan. You may belong to any religion or caste or creed that has nothing to do with the business of the State.”
(Mohammad Ali Jinnah, 11 Agustus 1947)
Pakistan hari ini jauh dari cita-cita Mohammad Ali Jinnah. Founding Father yang dijuluki Quaid-e-Azam (Pemimpin Besar) ini tentu menangis jika melihat kondisi Pakistan sekarang. Kekerasan demi kekerasan meneror rakyat Pakistan setiap harinya. Peristiwa mutakhir terjadi pada Sabtu, 8 Februari 2014 lalu. Seorang pemuda Ahmadi (anggota Ahmadiyah), Raziullah Din (27) dibunuh karena keyakinannya. Pembunuhan dan teror terhadap komunitas Ahmadi terus berlangsung dan semakin brutal. Pada Mei 2010 lalu, lebih dari 100 orang tewas dan ratusan lainnya terluka ketika sekelompok teroris memasuki dua mesjid milik komunitas Ahmadiyah dan menembaki para jemaah yang tengah melangsungkan ibadah sholat Jum’at.
Bagi komunitas Ahmadiyah, ini bukan kali pertama. Sejak Pakistan berdiri, komunitas ini mengalami persekusi dan diskriminasi yang sistematis tidak saja oleh kelompok lainnya, namun juga oleh negara. Pada 1953, kerusuhan besar melanda Provinsi Punjab. Kerusuhan ini diawali ultimatum beberapa kelompok Islam kepada Perdana Menteri Khwaja Nazimuddin. Dalam ultimatum itu mereka memaksa pemerintah agar menetapkan status minoritas non muslim kepada komunitas Ahmadiyah, atau dengan kata lain mengusir komunitas ini dari lingkungan Islam. Tuntutan lainnya adalah memecat Choudhry Zafrullah Khan –seorang penganut Ahmadiyah- yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Karena tidak digubris, maka meletuslah kerusuhan yang menelan korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Buntut panjang dari kerusuhan ini juga berhasil menumbangkan pemerintahan.
Jika percobaan pertama gagal, maka pada 1974 justeru pemerintah Pakistan di bawah Zulfikar Ali Bhutto meng-amin-i keinginan kelompok-kelompok yang terlibat pada kerusuhan 1953 agar Ahmadiyah dinyatakan sebagai non muslim. Sepuluh tahun kemudian, giliran Jenderal Zia Ul-Haq bergerak lebih jauh dengan mengeluarkan undang-undang yang sangat diskriminatif. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa mereka (Ahmadi) tidak lagi diperkenankan memakai atribut Islam, seperti menamakan tempat ibadahnya sebagai mesjid, menyuarakan azan, bahkan untuk sekadar mengucapkan salam. Apabila peraturan ini dilanggar, pelakunya akan diseret ke meja hijau.
Kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah bukanlah satu-satunya. Aksi teror, bom bunuh diri, benturan sektrarian, kudeta militer adalah beberapa contoh yang kehadirannya terasa omnipresent di tengah rakyat Pakistan. Apa yang tengah dipertontonkan di sana ibarat lingkaran setan, atau –meminjam istilah Dom Helder Camara- sebagai ”spiral kekerasan” (spiral of violence). Hampir sulit menemukan ujung pangkalnya. Ia bisa terpantik dari sentimen agama, kekuasaan, ekonomi atau berkelindannya unsur-unsur ini. Dan unsur-unsur terakhir inilah yang banyak memainkan peran di sana. Menjadikan agama sebagai penyalur syahwat kekuasaan menjadi begitu lumrah. Di mata para pelaku kekerasan, aksi-aksi mereka sah bahkan wajib hukumnya karena dianggap berlandaskan ayat-ayat kitab suci. Kalau sudah begini tesis Charles Kimball dalam bukunya When Religion Becomes Evil ? menjadi relevan. Kimball dalam bukunya ini mengingatkan, agama bila ditempatkan secara keliru bisa menjadi kekuatan pembunuh yang mengerikan, korup dan jahat.
Jika dibandingkan negara tetangganya India dan China, Pakistan jauh tertinggal di belakang. Robyn Meredith dalam bukunya, The Elephant and The Dragon memaparkan kebangkitan India dan China yang di awal abad 21 ini menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia. Sementara itu Pakistan sendiri masih berjalan di tempat. Negara ini selama bertahun-tahun berada di peringkat teratas sebagai negara gagal (failed state) menurut versi majalah Foreign Policy (FP). Penilaian FP menggunakan 12 indikator yang di antaranya meliputi bidang sosial, politik, ekonomi dan militer.
Apa yang terjadi di Pakistan hendaknya menjadi pelajaran bagi kita di tanah air. Karena –seperti dituturkan cendekiawan muslim- Azyumardi Azra, belakangan ini terorisme memunyai sifat yang cenderung contagius, menular dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kelompok kepada kelompok lain (Republika, 7 Januari 2010). Bukankah akhir-akhir ini gejala yang sama, seperti radikalisasi agama, aksi-aksi terorisme semakin kasat mata. Jika tidak segera ditanggulangi, apa yang terjadi di Pakistan bukan tak mungkin tumbuh subur di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H