Dalam ranah umat Islam sekarang ini, setidaknya ada tiga pandangan mengenai sistem #Khilafat# atau kepemimpinan. Pandangan kelompok pertama melihat bahwa sistem khilafah atau kekhalifahan harus atau mesti tegak di dunia ini. Pandangan kedua melihat bahwa sistem khilafat pernah berdiri dalam sejarah Islam, tetapi sekarang telah runtuh. Dan upaya untuk mendirikannya kembali bukanlah sebuah keniscayaan. Sementara menurut Pandangan ketiga, kepemimpinan dalam Islam adalah hak nya Ahlul Bait, yakni keturunan dari Rasulullah Saw dalam hal ini dari puteri Beliau Saw, Fatimah Az-Zahra dengan suaminya, Ali bin Abi Thalib ra. Untuk kelompok ketiga ini, adalah kelompok Syiah yang merupakan pendukung utamanya. Dan pada kesempatan ini penulis tidak akan membahasnya. Bukan berarti tidak penting, namun ini membutuhkan artikel atau pembahasan yang lain lagi.
Nah, sekarang kita membicarakan yang pro dan kontra dengan sistem khilafat. Para pendukung sistem khilafat yang paling getol akhir-akhir ini gaungnya adalah kelompok Hizbut Tahrir. Setiap tahun, kelompok Hizbut Tahrir senantiasa memeringati runtuhnya Khilafah. Khilafah yang mereka rujuk adalah Kekhalifahan Utsmani (Ottoman Empire) yang dihapuskan semenjak 1924. Hizbut Tahrir sebenarnya tidak sendirian. Upaya ini seolah me-rewind upaya-upaya sebelumnya yang digelindingkan berbagai komponen umat semenjak lama. Seminar, muktamar, konferensi dan berbagai bentuk upaya berulang kali dilakukan. Ironisnya, ibarat “menegakkan benang basah” upaya-upaya tersebut selalu menemui kebuntuan. Gagasan ini hanya terwujud dalam tataran wacana serta jargon-jargon namun minus realisasi. Pernah ada upaya yang nyaris berhasil, yakni pada KTT Negara-negara Islam yang diadakan di Lahore, Pakistan tahun 1974. Pada kesempatan itu, Raja Faisal dari Arab Saudi diusulkan menjadi Khalifah oleh Presiden dan pemimpin dari berbagai negara di Timur Tengah. Namun, sebelum itu terwujud, beliau keburu tewas ditembak keponakannya sendiri.
Sementara bagi kelompok yang kontra, beranggapan bahwa negara-negara modern saat ini telah mampu menggantikan sistem Khilafat. Apakah itu seorang Presiden atau Perdana Menteri kedudukannya adalah sebagai “ulil amri” yang mesti ditaati, jadi tidak mesti seorang Khalifah. Lagipula kelompok ini melihat realitasnya dalam sejarah umat Islam. Menurut mereka, sistem khilafat telah mati setelah era Khulafaur Rasyidin berlalu. Yang tersisa kemudian hanyalah kerajaan herediter atau dinasti yang memakai pangkat khalifah atau sultan. Jabatan khalifah hanyalah topeng demi memerkuat kekuasaan mereka yang tiranik.
Paydar, dalam bukunya, “Legitimasi Negara Islam” menyinggung bahwa, “Sistem kekhalifahan pertama kali mendapat tamparan dari pemerintahan Umayyah yang secara immoral menjadikan kekhalifahan sebagai pemerintahan nepotis” (Paydar, 2003). Senada dengan Paydar, sejarawan Albert Hourani menjelaskan bahwa Umayyah telah memperkenalkan jenis pemerintahan baru yang mempunyai arah kepada keduniawian dengan dorongan kepentingan pribadi (Hourani, 2004). Kondisi menyedihkan ini merentang jauh hingga dinasti Utsmaniyah . Realitas inilah yang agaknya membuat sebagian kalangan “alergi” memandang sistem khilafah.
Lalu, siapa yang telah mendirikan kembali sistem Khilafah di abad modern ini ? Sepengetahuan penulis, ada dua kelompok saja. Pertama, Ahmadiyah dan belakangan adalah ISIS. Pun, sebagian kalangan meragukan ke-Islaman kedua kelompok tersebut, namun toh mereka mengklaim bahwa mereka muslim atau Islam. Jadi, mesti diakui atau tidak, sistem Khilafat yang mereka dirikan –menurut pemahaman mereka- adalah sistem Khilafat berdasarkan ajaran Islam yang mereka anut.
Namun, tentu kita sebagai awam butuh perbandingan. Perlu pengujian di lapangan konsep dan implementasinya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Hudzaifah r.a. Rasulullah Saw menubuatkan bahwa umat Islam akan mengalami 5 era kepemimpinan. Pertama, masa kenabian Beliau Saw. Kedua, era Khilafah ‘ala minhajinnubuwwah (khilafat menurut acuan kenabian), yaitu para Khulafaur Rasyidin. Ketiga, era kerajaan yang penuh sengketa (mulkan ‘adhan). Keempat, era kerajaan yang penuh kelaliman (mulkan jabariyatan). Kelima, datangnya kembali era Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.” (Musnad Ahmad, Baihaqi, Misykat).
Runtuhnya dinasti Utsmaniyah atau di Barat dikenal dengan Ottoman pada 1924 adalah runtuhnya kerajaan, bukanlah runtuhnya Kekhalifahan. Kekhalifahan sesungguhnya telah runtuh jauh-jauh hari, semenjak era Khulafaur Rasyidin berakhir. Maka, sungguh tidak tepat jika rujukan sebagian kalangan yang pro sistem Khalifah adalah peristiwa 1924. Dan jika kita merujuk Hadits Nabi Saw tersebut, maka setelah masa-masa kerajaan yang sifatnya “mulkan adhan” dan “mulkan jabariyan” tersebut runtuh akan datang masanya Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.”
Dan berdasar hadits itu pula umat Islam akan mengalami dua kali era Khilafah ‘ala minhajinnubuwwah. Yang pertama di periode awal sesudah kewafatan Rasulullah Saw. Yang kedua di periode akhir, atau akhir zaman. Lalu, bagaimana umat dapat mengenalinya? Tentu jalan terbaiknya adalah dengan mengetahui terlebih dahulu ciri-ciri yang melekat pada periode khulafaur Rasyidin awal, sehingga diharapkan umat dapat mengenali era Khulafaur Rasyidin di akhir zaman ini.
Menarik untuk dicatat, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad –seperti dikutip Maulana Sheikh Mubarak Ahmad-beruaha mengemukakan ciri-ciri tersebut (1982). Pertama, dalam proses pemilihan, seorang Khalifah harus dipilih orang-orang mukmin. Meskipun secara lahiriah dipilih, namun pada hakikatnya Allah Ta’ala bekerja di belakang proses pemilihan ini (lihat: 6:165; 24:55). Kedua, seorang khalifah harus taat sepenuhnya terhadap hukum syariat. Adanya jaminan seperti ini, mencegah seorang khalifah bertindak otoriter. Ketiga, khalifah tetap tunduk kepada pendapat-pendapat musyawarah. Dalam urusan penting ia wajib bermusyawarah dengan pembantu-pembantunya. Meskipun demikian, khalifah dapat saja menolak pertimbangan yang diberikan para penasehatnya. Keempat, Jabatan khalifah merangkap sebagai amir atau imam, maka secara moral seorang khalifah wajib menempuh jalan ketakwaan.
Ciri kelima, kedudukan khalifah setara dengan umat lainnya dalam segi kemanusiaan. Ia dapat menuntut segala haknya melalui sistem peradilan, seperti halnya orang lain. Keenam, perlindungan Ilahi. Ciri keenam ini terkait dengan ciri pertama, karena pada hakikatnya pengangkatan seorang khalifah adalah Hak Prerogatif Allah, maka Allah juga yang berjanji memberikan perlindungan samawi kepada khalifah agar terhindar dari kesalahan-kesalahan besar yang dapat mengakibatkan bencana bagi umat. Baik ciri pertama maupun ciri keenam inilah yang merupakan pembeda yang sekali-kali tidak ditemukan pada system khalifah pasca Khulafaur Rasyidin.
Ciri yang terakhir atau ketujuh , non politis. Artinya, seorang khalifah berada di atas semua golongan, dan kedudukannya bagaikan seorang bapak bagi anak-anaknya, yaitu umat Islam di seantero dunia. Jadi, tidak seperti perkiraan banyak orang bahwa kehadiran Khalifah berarti harus mendirikan sebuah negara, sebutlah misalnya Negara Islam. Ideologi, partai politik maupun batas-batas geografis suatu bangsa atau negara bukanlah menjadi ruang lingkup kerja seorang khalifah. Ketaatan kepada Khalifah dapat berjalan beriringan dengan ketaatan kepada pemerintah di mana seorang muslim itu tinggal. Ketujuh ciri pembeda inilah yang sepenuhnya berada dalam nizam Khulafaur Rasyidin.
Lalu, bagaimana dengan Khalifah Ahmadiyah dan Khalifah ISIS ? Ada sebuah hadtis yang berbunyi demikian, “Apabila dua khalifah dibai’at, bunuhlah khalifah terakhir (kedua)" (HR.Muslim). Redaksi kalimat ini tidak perlu diterjemahkan secara letterlijk atau secara harfiah. Maksud redaksi dari hadits tersebut adalah, jika sudah ada seorang khalifah, maka khalifah lain yang muncul belakangan menjadi batal hukumnya. Maka pertanyaannya, siapakah di antara kedua sistem Khilafat ini yang mula-mula berdiri ?
Khilafat Ahmadiyah berdiri pada 27 Mei 1908. Pada saat Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as –pendiri Ahmadiyah- wafat, maka dengan serentak pada hari itu juga diadakan pemilihan Khalifah. Sebelum wafatnya, pada 1905 Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as menulis sebuah buku kecil berjudul “Al-Wasiyat” yang di dalamnya menjelaskan tentang akan berdirinya nizam khilafat sepeninggal beliau, dan ini terbukti tiga tahun kemudian. Khalifah pertama yang terpilih adalah Hazrat Al-Hajj Hakim Nurrudin ra (1908-1914). Setelah Khalifah I wafat, estafet selanjutnya diteruskan oleh Khalifah II, Hazrat Al-Hajj Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra (1914-1965), selanjutnya Khalifah III, Hazrat Mirza Nasir Ahmad rh, (1965-1982), Khalifah IV, Hazrat Mirza Thahir Ahmad rh (1982-2003) dan sekarang, Khalifah V, Hazrat Mirza Masroor Ahmad (2003-). Periode nizam Khilafat Ahmadiyah telah merentang 107 tahun pada 27 Mei 2015 nanti.
Khilafat Ahmadiyah bersifat non politis. Ahmadiyah tidak memerlukan sarana politik, seperti partai politik atau negara untuk menjalankan nizam Khilafatnya. Ketaatan kepada Khalifah dapat berjalan beriringan dengan ketaatan kepada pemerintah di mana seorang muslim ahmadi itu tinggal. Atau dengan kata lain, setiap ahmadi atau anggota Ahmadiyah loyal terhadap negara dan pemerintah di mana ia dilahirkan dan tinggal.
Sementara menurut catatan, di tahun 2013 di Irak muncul kelompok bernama ISIS alias Islamic State of Iraq and Al Sham (Negara Islam Irak dan Syam). Belakangan ISIS merubah namanya menjadi Islam State dengan tujuan untuk menjangkau daerah kekuasaan yang luas. Tujuan mereka adalah meruntuhkan negara-negara yang sudah ada dan membentuk Negara dengan penafsiran mereka. Awal bulan Ramadhan yang lalu (Juni 2014), ISIS mengangkat Ibrahim bin Awwad bin Ibrahim bin Ali bin Muhammad al-Badri al-Samarrai alias Abu Bakar Al Baghdadi sebagai khalifah. Pengumuman pengangkatan Al-Baghdadi sebagai khalifah dilakukan di Mesjid Agung kota Mosul, Irak. Abu Bakar Al Baghdadi sendiri awalnya adalah pemimpin Negara Islam Irak (ISI) sebuah cabang Al Qaeda Irak, pimpinan teroris Ayman Zawahiri. Namun, dikemudian hari Baghdadi membangkang dan tak mematuhi Zawahiri. ISIS sendiri merupakan organisasi gabungan dari bekas tentara loyalis Saddam Hussein, eks Partai Ba’ath, dan berbagai kelompok teroris (Sinar Islam, edisi Oktober 2014).
Nah, lantas bagaimana sepak terjang kedua Kekhalifahan yang telah berdiri ini ? hal ini juga perlu dibahas, agar awam mendapatkan pengetahun, mana yang sesungguhnya membela kepentingan umat Islam atau justru sebaliknya, menciderai wajah Islam di mata dunia? Ahmadiyah adalah organisasi yang menampilkan keindahan Islam. Mereka memiliki motto “Love for All Hatred for None” Berdiri pada 1889, berarti hingga kini sudah berusia 126 tahun! Didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. Sepeninggal Beliau, dakwah dan Tabligh Islam secara estafet diteruskan oleh para Khalifahnya hingga sekarang. Kini, Ahmadiyah sudah berada di 206 negara dengan anggota mencapai ratusan juta orang.
Pesan Ahmadiyah adalah pesan Islam. Setiap saat para Khalifah Ahmadiyah menyebarluaskan keindahan Islam ke seluruh penjuru dunia. Aksi-aksi sosial melalui pendirian ratusan sekolah, rumah sakit, donor darah adalah sebagian kecil aksi filantropi gerakan ini. Untuk dakwah Islam, Ahmadiyah mendirikan ribuan masjid di seantero dunia. Menerjemahkan Al-Qur’an ke-60 lebih bahasa dunia, mencetak dan menyebarkan ribuan literatur. Ahmadiyah juga memiliki Stasiun Televisi Internasional, yakni MTA (Moslem Television Ahmadiyya) yang menyiarkan kecantikan Islam dan beroperasi 24 jam nonstop tanpa iklan. Khalifah ke-5, Hazrat Mirza Masroor Ahmad bahkan dijuluki berbagai kalangan media Barat sebagai “The Champion of Peace” saking aktifnya menyuarakan perdamaian.
Lantas bagaimana dengan ISIS dan khalifahnya ? ISIS sendiri mengklaim sebagai kelompok muslim yang ingin menegakkan Syariah Allah di muka Bumi. Ironisnya, mereka mengabsahkan kekerasan untuk menindas kaum minoritas atau pihak-pihak yang berseberangan dengan paham mereka. Ribuan masyarakat tak berdosa yang terdiri dari kelompok Syiah, etnis Kurdi, Yazidi, shabaks, Turkomen dan suku-suku lainnya menjadi korban keganasan ISIS. Mereka dengan mudahnya menganggap kafir atau murtad kepada sesama muslim yang tidak sejalan dengan mereka.
Eksekusi massal dan penyiksaan terhadap sandera atau korban sungguh jauh dari nilai-nilai Islami. Kasus terakhir yang cukup menyayat hati adalah pembakaran hidup-hidup pilot Jordania, Muath Kasassbeh yang menyulut kemarahan dunia Arab. Bahkan seminggu terakhir, media-media massa dunia disuguhi berita eksekusi 21 warga Mesir Penganut Kristen Koptik oleh ISIS. Peninggalan-peninggalan sejarah pun tak luput dari sasaran mereka. Makam Nabi Yunus as dihancur luluhkan sampai tak tersisa. Entah sampai kapan kekejaman ini akan berakhir. Namun kemarahan dan kutukan dunia internasional terhadap ISIS sudah tak tertahankan lagi.
Jadi, kesimpulannya, manakah institusi Khilafat yang mencerminkan nilai-nilai Islam? Manakah kelompok yang menjadi pengejawantahan “kuntum khaira ummatin uhrijat linnas” (umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia) ? Yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, atau justru sebaliknya, yang melecehkan dan menciderai kemanusiaan ? Jawabannya sudah coba dijelaskan dalam artikel yang singkat ini.wallahu'alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H