Mohon tunggu...
Akhmad Reza
Akhmad Reza Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegawai Swasta

"Ikatlah Ilmu dengan menuliskannya," Imam Ali ra

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memutuskan Rantai Penindas-tertindas

22 Februari 2014   15:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:34 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sampai detik ini, mata rantai penindas-tertindas tidak pernah hilang dari muka bumi. Menurut Paulo Freire –seorang pendidik Brazil- Penyimpangan ini terjadi sepanjang sejarah, namun bukan suatu fitrah sejarah. Dan ketika praktek penindasan bersimaharajalela, maka cepat atau lambat keadaan yang kurang manusiawi itu akan mendorong kaum tertindas untuk berjuang menentang mereka yang telah membuat mereka jadi demikian.

Dengan kata lain, Freire mengungkapkan bahwa tugas untuk melawan penindasan, sejatinya berada di pundak kaum tertindas, dan mereka yang sungguh-sungguh berpihak pada kaum tertindas tersebut. Karena kalau bukan mereka, siapakah yang lebih siap dibanding kaum tertindas untuk memahami makna mengerikan yang terjadi pada masyarakat yang menindas ? Siapakah yang merasakan penderitaan akibat penindasan lebih dari kaum tertindas itu sendiri ?

Namun, perjuangan ini hampir saja menjadi paradoks, sebab seperti dituturkan Freire, hampir selamanya, sejak awal dari perjuangan ini, kaum tertindas bukannya mengusahakan pembebasan, tetapi cenderung menjadikan dirinya penindas, atau “penindas kecil.” Sebagai contoh, seorang petani ketika diangkat menjadi mandor tidak menjadi seorang tiran yang lebih kejam terhadap rekan-rekannya dulu dibanding dengan majikannya sendiri (1995:15).

Analisa Freire tersebut sangatlah menarik terutama jika kita menerapkannya dalam lapangan keagamaan. Sejarah berbagai agama menunjukan kepada kita bahwa dalam rentang sejarahnya, agama tak luput dari mata rantai penindas-tertindas. Hal ini dapat diterangkan secara sederhana sebagai berikut, ketika suatu agama lahir, para penganut agama tersebut berada pada posisi kaum marjinal. Tetapi, seiring berjalannya waktu, pengikut agama baru tersebut tumbuh berkembang dan menjadi besar. Maka, tibalah giliran mereka bersalin rupa menjadi penindas baru terhadap mantan “majikannya” yakni, agama atau keyakinan lama yang selama ini menganiaya mereka. Hal ini tidak berhenti di sana. Bentuk penindasan tersebut tidak hanya terjadi kepada pihak eksternal, atau pihak di luar agama bersangkutan, tetapi juga terjadi di dalam agama tersebut. Dengan kata lain, di dalam agama tesebut terbentuk “kelas penindas” yang menindas orang-orang yang dianggap menyimpang dari ajaran yang mereka anut.

Sekarang mari kita lihat contohnya dalam sejarah. Ketika Kristen lahir, agama ini menjadi bulan-bulanan tidak hanya oleh pemuka agama Yahudi, tetapi juga agama-agama pagan, seperti agama Pagan Romawi. Selama kurang lebih 3 abad, kaum Kristiani dikejar-kejar, di aniaya, di bunuh, dijadikan martir akibat kepercayaan yang mereka anut. Di zaman Romawi ini, kekejaman yang mereka alami sangat luar biasa. Mereka dijadikan tontonan di Colosseum dan diumpankan kepada singa, serigala, atau dipertarungkan dengan para gladiator hingga tewas. Tetapi sejarah kemudian memihak mereka. Lambat laun jumlah pengikut Kristen semakin meningkat dan puncaknya, ketika Kaisar Romawi, Constantin melakukan konversi dan menyatakan Kristen sebagai agama negara. Keadaan berbalik 180 derajat. Kristen yang dahulunya tertindas tak segan mengikuti jejak penindasnya dahulu, yakni dengan menjadi penindas pula. Sisa-sisa kaum pagan ditumpas.Selanjutnya, praktek penindasan mulai terjadi ke dalam, saudara-saudaranya yang dianggap menyebarkan bid’ah (heretics) ditumpas, dibakar atau disalib. Kelompok Protestan mengalami hal ini di awal kelahirannya.

Lantas bagaimana dengan Islam ? Sejarah Islam awal sesugguhnya menampilkan kenyataan yang unik. Peristiwa Futuh Mekkah menjadi bukti, di mana Rasulullah Saw memutuskan mata rantai “penindas-tertindas” Pada waktu itu, dengan kekuatan 10.000 sahabat, Rasulullah Saw memasuki gerbang kota Mekkah. Kaum Quraisy yang selama ini menganiaya, memusuhi beliau dan pengikutnya menjadi sangat panik lari tunggang langgang. Hal ini wajar, karena menurut anggapan mereka, inilah saatnya kaum muslimin menuntut balas. Tentunya mereka membayangkan perlakuan keji mereka terhadap kaum muslimin akan dibalas dengan perlakuan keji atau bahkan lebih keji lagi dari kaum muslimin kepada mereka. Namun, sejarah tidak menulis demikian. Peristiwa kemenangan Rasulullah dan para sahabatnya tidaklah berubah menjadi ajang “vendeta” atau balas dendam. Hampir tidak ada darah tertumpah pada saat itu. Rasulullah Saw mengampuni mereka. Padahal di antara mereka ada yang merupakan pembunuh paman beliau Saw, Hazrat Hamzah dan Puteri tercinta beliau sendiri, Zainab r.a.

Hal serupa berulang ketika Perang Salib. Pada saat pasukan muslim di bawah pimpinan Sultan Salahuddin (Saladin) telah tiba di gerbang kota Jarusalem, sang Panglima Nasrani menghadap beliau dan berkata, “Aku akan menyerahkan kota ini padamu, namun aku takut perbuatan nenek moyangku 100 tahun lalu ketika menduduki kota ini kau ulangi, mereka telah membantai anak-anak, perempuan, dan orang tua dari kaummu.”Sultan Salahuddin berjanji, “Aku sekali-kali bukan tipe orang seperti itu !” mendengar janji beliau, Sang Panglima Nasrani kemudian menyerahkan kota Jarusalem kepada Kaum Muslimin. Benar saja, kaum Nasrani tidak dianiaya dan tidak dicabut hak-haknya untuk beribadah.

Namun, rupanya kaum muslimin mulai melupakan para pendahulu mereka, dan akhirnya mereka tidak luput dari mata rantai penindas-tertindas. Islam mulai kehilangan elan pembebasnya. Lambat laun dalam kalangan muslimin terbentuk lapisan “penguasa tafsir” yang seakan-akan lebih berhak menafsirkan ajaran Islam dibanding lainnya. Mereka dengan sangat yakin merasa mengetahui kehendak Allah Ta’ala. Dengan demikian, mereka merasa sebagai wakil-Nya, dan tak sungkan-sungkan untuk mengambil alih Hak-Hak-Nya. kelompok yang memiliki penafsiran berbeda dengan mudahnya dicap sesat, kafir, dan wajib dimusnahkan. Lapisan “Penguasa tafsir” ini dapat saja bernama ulama, ustadz, atau habib. Tetapi, watak mereka sesungguhnya tak jauh dari para penindas. Rasulullah Saw telah jauh-jauh hari memeringatkan kepada kita tentang ulama-ulama jenis ini. Menurut Beliau Saw, “Di akhir zaman, ulama-ulama seperti ini adalah seburuk-buruknya mahluk di kolong langit.” Wallahu’alam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun