"Dikeluarkannya aturan baru tentang kekerasan seksual dalam dunia pendidikan kita, menjadi bola liar yang menuai pro dan kontra oleh sejumlah kalangan"
Baru-baru ini dunia pendidikan kita dihebohkan dengan aturan baru yakni dikeluarkannya permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 yang telah menuai pro kontra oleh sejumlah pihak.
Menteri pendidikan dan kebudayaan mengeluarkan aturan baru tersebut tentu berangkat dari fakta dilapangan akan banyaknya kasus yang telah dilaporkan pada pihak berwajib yang berada dilingkungan pendidikan kita.
Tentu saja aturan yang dibuat itu, hakekatnya adalah untuk kebaikan bersama, karena berkaitan dengan problem penyimpangan sek yang kerap terjadi dalam lingkungan pendidikan.
Kontroversi seputar aturan yang tertuang dalam Permendikbudristek PPKS nomor 30 tahun 2021 itu, karena ada pasal-pasal yang masih multi tafsir, sehingga dalam penerapannya bisa disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Dikutip dari laman Kompasiana.com, penulis Eduardus Fromotius Lebe, menjelaskan Permendikbudristek PPKS, pasal 5 ayat 2 menjelaskan bahwa "tolak ukur kekerasan seksual ada pada persetujuan dari pihak lain". Sebagian kalangan menilai ini berpotensi multi tafsir.
Sehingga dari aturan yang baru dikeluarkan oleh mendikbudristek itu sangat berpotensi untuk disalahgunakan mengingat bahwa dalam aturan tersebut ada ruang penafsiran yang sangat mungkin disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Bahkan dengan adanya aturan baru dalam dunia pendidikan kita itu, "mendikbudristek dianggap telah melegalkan perzinahan dalam dunia pendidikan kita, yang jelas-jelas sudah tidak selaras dengan norma dan agama yang di anut oleh masyarakat Indonesia.
Terlepas dari pro dan kontra yang pasti niat dan tujuan dari mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim sangatlah baik untuk keberlangsungan dan kenyamanan dalam dunia pendidikan kita, karena semuanya berangkat dari fakta dilapangan banyak predator yang siap melahap para generasi penerus bangsa.
Munculnya pro dan kontra terhadap permendikbudristek PPKS nomor 30 tahun 2021 itu, disinyalir karena adanya faktor ketidakpuasan dan ada anggapan bahwa aturan yang dibuat oleh Mendikbudristek itu juga mengandung penafsiran baru yang bisa disalahgunakan.