"Sebagai makhluk sosial kita tidak bisa hidup sendiri, kebaiakan dan keburukan selalu berjalan sebanding sebagai sebuah fenomena dalam realitas kehidupan"
Sungguh hati sangat terenyuh dan terasa sakit, ketika ada seorang anak yang kisaran umurnya baru enam tahun bersama seorang ibu yang masih cukup kuat secara fisik, datang dengan menadahkan tangan, berharap mendapatkan uluran tangan.
Tempat keramaian di warung-warung, cafe, dan tempat lainnya kerap hal itu menjadi pemandangan yang bikin hati terenyuh.
Dalam hati dan pikiran, mestinya mereka sedang belajar di bangku sekolah, karena bkebetulan pada waktu itu beberapa tempat sudah mulai dibuka pembelajaran tatap muka.
Anak-anak yang kisaran masih duduk di kelas satu SD itu, apakah terpaksa, atau memang dalam kondisi ekonomi yang melarat, atau memang sudah menjadi rutinitas keluarganya mencari nafkah dengan cara meminta-minta, sehingga melakukan pekerjaan itu sebagai sebuah hal dalam ruang kepantasan dan kepatutan.
Anak-anak yang menjadi pengemis, terlepas apakah mereka terpaksa oleh sebuah keadaan atau memang karena sudah nasib, entahlah hati masih bertanya-tanya, kemana negara bahwa anak Indonesia merupakan tanggung jawab semua element, dalam hal ini Dinas Sosial yang semestinya memberikan tempat dan perlindungan bagi mereka yang hidup terlantar dan serba kekurangan.
Dan mengapa di jalanan dan keramaian masih saja anak-anak yang melakukan rutinitas meminta-minta itu masih cukup banyak kita lihat? Ini merupakan problem sosial yang sesegera mungkin untuk dituntaskan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Jika mengutip kata bang Haji Rhoma Irama, "Seribu satu macam, cara orang mencari makan, mulai dari penjual koran sampai jadi presiden", bahkan saat ini mulai dari jadi pengemis sampai menjadi konglomerat, kira-kira begitulah rotasi kehidupan ini.