Oleh Akhmad Bumi )*
Konflik tanah adat Pubabu-Besipae antara masyarakat adat Pubabu-Besia Vs Pemerintah bersumber pada penerbitkan sertifikat hak pakai. Sertifikat hak pakai diatas tanah adat Pubabu-Besipae dengan Nomor 00001/1986 tanggal 29 Januari 1986, luas 37.800.000M2 atau 3.780 hektar dengan pemegang hak pakai Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur, tanpa jangka waktu. Sertifikat duplikat dengan alasan sertifikat asli hilang diterbitkan tanggal 19 Maret 2013 disertai dengan surat keterangan hilang tanggal 25 Januari 2013 dari Kepolisian Resor Kupang Kota.
Sertifikat hak pakai yang terbit diatas tanah adat Pubabu-Besipae ini yang menjadi sumber masalah (konflik). Masyarakat adat sendiri tidak tahu menahu penerbitan sertifikat hak pakai diatas tanah adat Pubabu-Besipae dengan pemegang hak Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur tersebut.
Disatu sisi masyarakat adat Pubabu-Besipae teguh pendirian bahwa sertifikat hak pakai yang terbit tahun 1986 tersebut berada diatas tanah adat Pubabu-Besipae, sementara tanah tersebut merupakan sumber penghidupan mereka, disisi lain Pemerintah Propinsi NTT berada pada sikapnya bahwa lahan tersebut adalah hak milik pemerintah dengan adanya sertifikat hak pakai tersebut. Â
Konflik tersebut berakibat pada pembongkaran 29 (dua puluh sembilan rumah) warga yang dilakukan dalam 3 (tiga) tahap yakni; Februari, Maret dan Agustus 2020, terjadi intimidasi pada anak dan perempuan, penangkapan Anton Tanu (18) pada tanggal 9 Agustus 2020 dan Kornelius Numleny (64) pada  tanggal 14 Agustus 2020, pelarangan anak-anak untuk sekolah bagi anak yang orang tuanya berada pada konflik tersebut, hingga pada penelantaran warga akibat pembongkaran rumah yang membuat warga harus rela hidup dibawah pohon, penghidupan mereka semakin suram dari tanahnya sendiri. Sandang, pangan dan papan tidak tersedia sebagaimana mestinya sebagaimana amanat konstitusi Negara. Terlepas dari konflik tersebut, jaminan kelangsungan hidup dan produktivitas warga harus mendapat tempat oleh Negara untuk dipertimbangkan.
Konsepsi Tanah Adat
Tanah adat dikonsepsikan sebagai komunalistik, mengandung unsur kebersamaan. Komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang dalam kepustakaan disebut Hak Ulayat. Olehnya tanah adat bukan hak personal atau hak milik pribadi tapi hak komunal.
Tanah adat merupakan tanah kepunyaan bersama, peninggalan leluhur kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat secara turun temurun, sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat sepanjang masa. Adapun kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat yang teritorial (desa, kampung, marga, suku). Bisa juga merupakan masyarakat hukum adat genealogik atau keluarga.
Para warga adat sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya. Olehnya tanah adat baik dalam peruntukkan, penguasan dan penggunaan serta pemeliharaan diatur oleh kelompok adat yang bersangkutan, selain diatur dengan tertib juga menjaga agar tidak menjadi sengketa, juga bisa terjaga kelestarian kemampuannya bagi generasi-generasi yang akan datang.
Kehidupan masyarakat adat sepenuhnya bergantung pada tanah, tanah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat adat dengan segala sumber daya yang ada didalamnya. Ikatan kultural yang kuat dengan tanah ini merupakan salah satu ciri yang paling menonjol yang membedakan antara masyarakat adat dengan penduduk lokal lainnya yang memandang tanah hanya semata-mata barang ekonomis. Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA) telah mencoba mewujudkan pengakuan hukum adat, yang berarti hukum adat didudukkan dalam sistem hukum nasional, tetapi dalam praktek penerapan maupun peraturan hingga pada kebijakan turunannya jauh dari kenyataan.
Prinsip penguasaan tanah adat Pubabe-Besipae, secara fisik diakui dalam masyarakat. Tapi kenyataan yang dialami menggambarkan bahwa Pemerintah sedang tidak mengakui keberadaan tanah dan hutan adat tersebut. Tidak diakuinya tanah dan hutan adat oleh Pemerintah dalam kasus Pubabu-Besipae dikarenakan bahwa tanah tersebut telah menjadi milik Pemerintah sejak adanya kontrak antara Pemerintah dan Pihak Australia pada tahun 1982 dalam proyek percontohan intensifikasi peternakan Besipae. Masih dalam masa kontrak, Pemerintah menerbitkan sertifikat hak pakai Nomor 00001 tahun 1986 dan diduplikat pada tahun 2013 tanpa melibatkan masyarakat adat setempat. Padahal kontrak hanya berjalan 5 (lima) tahun. Disini sumber konfliknya.