Oleh Eka R Abdurachman, SP
Sebagai Perempuan, tugasku sangatlah sederhana. Andaikata hidup adalah sebuah skenario kampus, maka untuk dapat wisuda menjadi sarjana bergelar wanita sholeha aku hanya menempuh 4 (empat) mata kuliah saja. Andaikan hidup adalah sebuah perjalanan, maka aku cuma menempuh 4 (empat) perjalanan saja untuk sampai pada pelabuhan akhir yang penuh dengan kedamaian abadi.
Tapi aku merasa sangat kewalahan disemester ke-3 kuliah jurusan keperempuanan. Dan aku juga tidak mau berhenti di perjalanan ke-3 menumpangi bus kehidupan jurusan dunia-akhirat. Diawal kuliahku dulu, di semester pertama aku harus lulus menempuh mata kuliah "Peranan perempuan sebagai seorang Putri".
Alhamdulillah aku mendapat nilai "B" dari dosen panelis orang tuaku, itu artinya aku cukup lulus karena berkat kerja kerasku yang tidak banyak neko-neko saat aku menjadi buah hati mereka. Prestasi belajarku yang selalu dapat juara dan masa remajaku kuhabiskan dengan menjadi anak manis, tanpa narkoba dan tanpa hura-hura. Ini mungkin karena aku ikut bimbingan belajar ruhiyah bersama teman-teman rohisku di komunitas tarbiyah, dan sampai disaat itu aku belum bisa ikut ujian semester pendek untuk dapat nilai "A" sebagai seorang anak yang baik.
Di kepala dua usiaku waktu itu, alhamdulillah aku di izinkan mengikuti kelas akselerasi dari perjalanan pertamaku menumpangi "bus perjalanan bersama manusia" aku mendapat hembusan dari langit, hidayah itu mengantarkan aku pada terminal perjalanan kedua "perjalanan menuju Allah". Allahuakbar..! perjalanan ini sangat terjal, begitu banyak godaan yang menghadang. Saking asyiknya aku mendekati Cahaya dari Tuhan yang tidak bertuhan lagi membuatku sedikit sibuk. Aku jadi reader sejati melahap semua buku-buku yang sangat kontras dengan buku yang kubaca dulu ketika masih di bus perjalanan pertama.
Sebagai puteri, perpustakaanku dipenuhi buku-bukunya Salim A. Fillah, dan Kang Abik. Mulai dari Agar Bidadari Cemburu Padamu, ayat-ayat cinta, semua habis kubaca tuntas. Lalu koleksi buku di perpustakaanku pun berubah, buku-buku Cak Nur, Ali sari'ati, Azhari akmal tarigan, dan lainnya terpajang sangat banyak. Di perjalanan kedua, ada begitu banyak pertanyaanku yang tidak terjawab. Kehidupan sosial masyarakat yang sangat kompleks, membuatku sedikit kerepotan antara belajar dan peduli dengan sekelilingku. Dari diskusi panjang, rasanya aku sepakat jika Agama adalah hasil didikan.
Mulai dari didikan keluarga, sekolah, bahkan pengalaman. Lalu jika ada kondisi masyarakat dimana seorang anak tidak sempat mendapatkan didikan Agama dari orang tuanya karena setiap waktu sibuk mencari makan, apalagi jauh sekali dari yang namanya bangku pendidikan. Apakah berdosa jika si anak itu tidak sholat? Aku jadi berpikir jangan-jangan yang salah adalah kita yang tidak peduli dengan kemiskinan mereka.
Atau lebih parah jangan-jangan sholat kita yang tidak sah? Bukankah syarat sahnya sholat adalah baligh, baligh artinya tumbuh normal. Untuk tumbuh normal sudah pasti gizinya harus baik, gizi itu asalnya dari pangan yang sehat, artinya jika kita tidak peduli dengan masalah pangan bagaimana dapat dikatakan sahnya sholat kita?. Kondisi imanku yang tidak stabil, membuat semester kedua kuliahku berantakan.
Aku mendapat nilai "D" untuk mata kuliah "Peranan Perempuan menjadi aktivis sosial masyarakat". Artinya aku tidak lulus dan harus mengulang kembali mata kuliah tersebut di semester selanjutnya. Proses pencarian Tuhan yang kugeluti di komunitas filsafat, membuatku kurang bisa diterima lagi di komunitas tarbiyah. Kini aku harus mengambil ekstrakurikuler yang baru yaitu organisasi internal dan external kampus agar aku bisa memperbaiki nilai "D' berperan di masyarakat. Singkatnya walau aku tidak lulus mata kuliah yang kedua, tapi aku berhasil menuju perjalanan yang ke-3 yaitu "Perjalanan bersama Tuhan".
Alhamdulillah.. hijabku terjaga dengan baik bahkan kelezatan imanku diperjalanan ketiga membuatku merindukan kematian, dan Alhamdulillah juga aku bisa ikut mata kuliah di semester ketiga yaitu "Peranan Perempuan sebagai Seorang Istri". Seorang ikhwan berkata padaku "Afwan ukhti, kuingin mengajakmu jalan-jalan ke surga.
Bersediakah dikau menjadi belahan sayapku agar kita dapat terbang kesana?". hmm.. bagaimana bisa aku menolaknya? Berbekal cinta kepada Allah dan RosulNya, kami genapkan agama kami. Laiknya sakinah mawaddah wa rahmah sebenarnya aku sudah sangat nyaman bersama Tuhanku di perjalanan ketiga di Nirwana.