Oleh Akhmad Bumi )*
28 Oktober 1928 -28 Oktober 2018, usia 90 (sembilan puluh) tahun pemuda-pemuda Indonesia dengan gagah berani mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa-INDONESIA. Begitu bermakna Indonesia dimata kaum muda masa lalu.Â
Nasionalisme dan demokrasi bergerak seiring dalam pergerakan nasional. Dimotori, digerakkan pemuda-pemuda progresif Indonesia. Indonesia maju, Indonesia bangkit, Indonesia jaya ada dipundak pemuda, cetus Poernomowoelan berapi-api saat rapat pemuda Indonesia di Gedung Indonesisch Huis Kramat 28/10/1928.
Lagu Indonesia Raya (Wage Rudolf Supratman) diputar saat kongres dimulai, Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku-pengikat kesatuan Indonesia Raya dari Sabang hingga Merauke. Sebelum kongres ditutup, pemuda-pemuda Indonesia mencetuskan rumusan hasil kongres-begitu monumental bagi sejarah bangsa hingga kini. Rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah dan ikrar kesetiaan  'Pemuda - Pemuda untuk Indonesia'.
Menarik, ultah pemuda ke-90 kali ini berkenaan dengan kondisi bangsa yang morat marit, orentasi kehidupan berbangsa seolah sirna. Pemuda era 1928, semangat nasionalisme kaum muda sebagai reaksi terhadap bangsa kolonial yang menjajah Indonesia begitu heroik, melahirkan hal monumental dalam ikrar 'Sumpah Pemuda'.
Milad pemuda tahun ini, semestinya melahirkan misi dan kompetensi kaum muda untuk menjawab situasi bangsa yang tidak menentu. Misi dalam konteks penyebab kaum muda dilahirkan, dan mengapa pemuda perlu melakukan sesuatu. Proses kaum muda dalam mengemban misi memiliki ciri dan spirit yang spesifik. Oleh karenanya hanya bisa dimengerti dan dikelolah dengan cara pandang dan konsep kaum muda yang bebas kepentingan dengan menorehkan sesuatu yang berarti bagi bangsa dan negara.
Kondisi obyektif kaum muda yang terwadah dalam berbagai organisasi dan berinduk pada KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), tidak bisa dilepaskan dari berbagai kepentingan yang bertarung.Â
Oleh karenanya gerakan kultural pemuda Indonesia ditahun-tahun terakhir menjadi kehilangan arah, karena pemuda kerap mengekor pada 'kepentingan' akhirnya menjadi sesuatu yang tidak menarik untuk disantap.
Hal itu menjadi alat ukur realitas baru, dan seolah dipercaya menjadi kiblat pada kesadaran baru kaum muda. Jika pemuda dahulu membangun harapan besar untuk Indonesia dengan berjuang merebut kemerdekaan, tapi tidak merasakan gesekan-gesekan lintas kepentingan seperti yang melanda kaum muda saat ini. Dilain sisi kaum muda saat ini walau diberi ruang kebebasan tapi mereka membangun kerangkeng yang besar pada dirinya, tanpa disadari semua itu adalah kontradiksi dari peran dan orentasi sesungguhnya.
Oleh karenanya ketika peran kultural kaum muda hendak diarahkan dalam dinamika historis kebangsaan, sebuah tanda tanya dan kesangsian tiba-tiba muncul, mau bicara peran dan kepentingan siapa dan tentang apa?.Â
Bukankah rumusan kaum muda Indonesia saat ini menampilkan mozaik yang dihimpit hiperalitas yang demikian rancu? Wajah generasi kita adalah gambaran tentang sebuah tanda tanya besar, seolah bopeng sebelah. Dititik ini, kebanyakan menyebutkan kaum muda telah kerasukan dengan apa yang disebut krisis kesadaran dan identitas diri.