Mohon tunggu...
Akhmad Alhamdika Nafisarozaq
Akhmad Alhamdika Nafisarozaq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Setengah AI

“Anglaras Ilining Banyu, Angeli Ananging Ora Keli”

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Naik Gunung Behavior Pengangguran? Ya, Kalau Penganggurannya Keren Seperti Fiersa Besari

19 Januari 2025   11:35 Diperbarui: 19 Januari 2025   11:35 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendakian Gunung Sumbing (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Belakangan ini, jagat media sosial sedang ramai membahas sebuah video yang menyebutkan bahwa kegiatan naik gunung adalah behavior paling pengangguran. Video ini menampilkan dua pria yang dengan santainya menyatakan pendapat tersebut, yang tentu saja memantik beragam reaksi dari warganet, termasuk saya. Dan yang paling menarik perhatian adalah respons dari Fiersa Besari, musisi sekaligus pendaki gunung kawakan. Dalam sebuah video di Instagram-nya, Fiersa dengan nada satir menanggapi, “Setuju banget! Itulah kenapa saya naik gunung, supaya bisa pesugihan.” Maksud dari “pesugihan” ini jelas satir. Fiersa merujuk pada penghasilan yang ia dapat dari hobinya mendaki gunung yang dijadikan konten untuk kanal YouTube-nya, Ekspedisi Atap Negeri. Jadi, kalau naik gunung dianggap sebagai aktivitas pengangguran, maka pengangguran macam Fiersa Besari ini jelas-jelas pengangguran level Sultan.

Naik Gunung = Pengangguran? Ya Kali!

Sebagai seseorang yang juga suka naik gunung, meskipun belum seintens Fiersa, saya merasa perlu ikut angkat suara. Kalau naik gunung disebut sebagai aktivitas pengangguran, lalu apakah bekerja 9 to 5 tanpa libur itu satu-satunya tolok ukur kesibukan yang produktif? Saya pribadi sudah mendaki beberapa gunung, meski koleksi puncak saya baru tiga: Gunung Andong, Gunung Api Purba Nglanggeran, dan Gunung Sumbing. Ketiganya memberi pengalaman yang luar biasa, yang jelas nggak bisa disamakan dengan kegiatan duduk-duduk doang di rumah. Kalau mau dibilang naik gunung itu “pengangguran” karena dilakukan di waktu senggang, ya mungkin ada benarnya. Karena jujur saja, saya juga baru bisa mendaki saat lagi nggak ada kerjaan atau banyak tugas kuliah alias nganggur. Tapi, kalau naik gunung dianggap sebagai aktivitas nggak berguna? Hmm, saya rasa mereka yang bilang begitu hanya perlu mencoba mendaki satu gunung saja. Lalu, mereka akan tahu betapa naik gunung itu butuh tenaga, persiapan, dan biaya yang nggak sedikit.

Naik Gunung Itu Mahal, Bung!

Kegiatan mendaki gunung bukan sekadar jalan-jalan. Mulai dari persiapan fisik, mental, hingga finansial, semua harus diperhatikan. Tiket masuk gunung? Bayar. Sewa alat? Bayar. Logistik? Apalagi. Bahkan, nggak sedikit yang membeli perlengkapan mendaki seperti jaket outdoor, sepatu trekking, dan carrier. Itu semua modal, bukan sekadar main-main. Jadi, kalau ada yang bilang naik gunung itu kegiatan pengangguran, ya, mungkin mereka belum tahu berapa tabungan yang terkuras untuk satu kali perjalanan mendaki. Belum lagi faktor risiko. Mendaki gunung bukan hanya soal sampai di puncak dan berfoto ria untuk konten Instagram. Ada jalur yang menantang, cuaca yang tak terprediksi, hingga risiko cedera. Oleh karena itu, mendaki gunung butuh persiapan matang. Kalau ini disebut kegiatan pengangguran, ya, mungkin kita perlu redefinisi ulang tentang apa itu produktivitas.

Sensasi Mendaki Gunung: Apa yang Orang-Orang Cari?

Bagi saya, mendaki gunung adalah pengalaman spiritual. Di ketinggian, kita dihadapkan pada ketakjuban alam yang luar biasa sekaligus kesadaran bahwa kita ini kecil di hadapan ciptaan Tuhan. Selain itu, naik gunung juga jadi momen refleksi. Di sana, nggak ada gangguan notifikasi ponsel, nggak ada bos yang menuntut revisi, nggak kepikiran tugas kuliah, dan nggak ada drama media sosial. Yang ada hanyalah kita, alam, dan perjalanan menuju puncak. Fiersa Besari juga pernah menyampaikan hal serupa di beberapa kontennya. Bagi dia, mendaki gunung bukan sekadar hobi, tapi juga bentuk apresiasi terhadap keindahan alam Indonesia. Kalau mendaki gunung dianggap aktivitas pengangguran, maka itu adalah bentuk pengangguran yang sangat berfaedah.

Mengapa Ada Pandangan Seperti Itu?

Pandangan bahwa naik gunung adalah “behavior pengangguran” bisa jadi muncul dari stereotip atau pengalaman pribadi yang kurang menyenangkan. Mungkin saja ada orang yang mendaki gunung tanpa persiapan, lalu kapok karena kelelahan atau malah tersesat. Atau, mungkin ada yang melihat para pendaki sebagai orang-orang yang “nggak punya kerjaan lain” selain jalan-jalan. Tapi, kalau mau jujur, apa bedanya dengan mereka yang menghabiskan waktu di kafe atau di mal setiap akhir pekan? Sama-sama hiburan, kan?

Pelajaran dari Polemik Ini

Daripada sibuk memperdebatkan apakah naik gunung itu aktivitas pengangguran atau bukan, mungkin kita perlu fokus pada hal-hal yang lebih esensial. Jika masih kaitannya dengan aktivitas naik gunung, bisa membahas bagaimana menjaga kelestarian alam saat mendaki. Jangan sampai naik gunung hanya jadi ajang pamer tanpa peduli dampak lingkungan. Ingat, sampah yang kita bawa harus kita bawa turun lagi. Jangan meninggalkan jejak berupa plastik atau botol minuman di jalur pendakian. Selain itu, kita juga perlu menghormati pilihan masing-masing. Kalau ada yang memilih naik gunung untuk menikmati hidup, ya biarkan. Kalau ada yang lebih suka menghabiskan waktu di rumah atau di jalan-jalan ke tempat lain, itu juga hak mereka. Yang penting, apa pun aktivitasnya, selama itu positif dan tidak merugikan orang lain, sah-sah saja dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun