Gondanglegi, sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Malang, Jawa Timur, kini punya daya tarik tersendiri. Namun, daya tarik ini bukan soal wisata alam atau kuliner khas. Di Jalan Gajahmada No. 30, tepatnya di Krajan, Gondanglegi Wetan, berdiri sebuah warung kopi yang unik dan kontroversial, yaitu Warung Kopi Cetol. Nama "cetol," yang dalam Bahasa Jawa berarti mencubit bagian tubuh seperti pipi, tangan, atau paha, menjadi simbol dari layanan yang ditawarkan di sini. Tapi, jangan tertipu dengan kesederhanaannya. Warung ini menyajikan lebih dari sekadar kopi, yaitu layanan "plus-plus" yang bikin siapa saja mengernyitkan dahi (atau mungkin malah penasaran).
Apa itu Warung Kopi Cetol?
Warung kopi ini sebenarnya sudah lama ada, bahkan eksis selama lebih dari satu dekade. Dengan menyajikan minuman kopi tubruk seharga Rp5.000 per cangkir, warung ini seolah jadi surga bagi mereka yang ingin menikmati kopi murah. Tapi daya tarik utamanya bukanlah aroma kopi atau cita rasanya, melainkan layanan "plus-plus" yang ditawarkan oleh para pramusaji muda yang cantik dan pintar memikat hati pelanggan. Setelah memesan kopi, pelanggan tidak hanya disuguhi minuman, tapi juga layanan eksklusif yang bikin geleng-geleng kepala. Mulai dari dipersilakan memangku pramusaji, mencium, hingga meraba bagian tubuh mereka. Semua ini terjadi di ruangan yang cukup privat. Konsepnya seperti "kafe mesum" dengan bumbu lokalitas Gondanglegi.
Layanan yang Eksklusif tapi Kontradiktif
Yang membuat miris adalah aturan unik bagi para pramusaji, mereka dilarang memakai pakaian seksi yang terlalu mencolok selama bekerja. Alasannya? Supaya masyarakat sekitar, terutama yang menolak keberadaan warung ini, tidak curiga. Pendekatan ini jelas untuk mengelabui masyarakat sekitar yang menolak keberadaan warung tersebut. "Ben nggak ketok, lek klambine seksi koyo purel," kata salah satu sumber. Memang, lokasi warung ini cukup strategis, tepat di seberang Masjid Agung Gondanglegi. Iya, Anda tidak salah baca. Letaknya persis di depan masjid, menambah kesan ironi yang luar biasa.
Keberadaan Warung Kopi Cetol sempat viral di media sosial, terutama TikTok. Namun, viralitas ini justru membuat warung semakin ramai. Dalam sehari, pengunjung bisa mencapai lebih dari 100 orang. Menariknya, warung ini buka dari pukul 8 pagi hingga pukul 3 sore setiap hari, dengan puncak keramaian biasanya terjadi pada Jumat siang. Tapi jangan salah, layanan "plus" ini tidak sekadar dilakukan di warung. Pelanggan yang ingin layanan lebih privat bisa melanjutkan transaksi melalui aplikasi Michat dengan tarif mulai dari Rp350.000.
Layanan "plus" ini dihargai berdasarkan tip yang telah disepakati sebelumnya, mulai dari Rp10.000 hingga Rp50.000. Bagi pelanggan yang merasa "malu" memesan langsung di tempat, aplikasi menjadi jalan pintas untuk melanjutkan pertemuan dengan pramusaji di luar. Fenomena ini membuat kita bertanya-tanya, bagaimana warung ini bisa bertahan begitu lama tanpa terusik?
Warung kopi ini sebenarnya sudah ada sejak 10 tahun yang lalu. Dalam perjalanannya, keberadaan mereka sempat viral di TikTok, tetapi dampaknya justru berlawanan dari ekspektasi, bukannya dibubarkan, areanya malah semakin luas. Bahkan, sekitar 15 warung serupa ditemukan di kawasan Gondanglegi. Ada alasan unik di balik mengapa mereka bisa tetap "selamat" dari sorotan publik. Salah satunya adalah peraturan internal bagi para pramusaji untuk tidak mengenakan pakaian seksi yang terlalu mencolok. Tidak ada hot pants. Alasannya? "Ben nggak ketok, lek klambine seksi koyo purel," mengutip dari hasil wawancara salah satu narasumber media lokal malang. Pendekatan tersebut terbukti berhasil mengelabui masyarakat sekitar yang menolak keberadaan warung tersebut.
Dampak Sosial dan Moralitas yang Terkikis
Yang lebih memprihatinkan, sebagian besar pelanggan warung ini adalah pelajar. Bayangkan, anak-anak yang seharusnya sibuk belajar malah memilih nongkrong di warung kopi dengan layanan yang berpotensi merusak moral. Fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial, ekonomi, dan moralitas saling bertubrukan dalam kehidupan modern.
Warung ini menggambarkan problematika sosial yang lebih dalam. Di satu sisi, ekonomi masyarakat kecil terbantu oleh keberadaan warung ini. Namun di sisi lain, eksistensinya menyoroti bagaimana ruang publik seperti warung kopi bisa berubah menjadi tempat eksploitasi moral. Siapa yang harus bertanggung jawab? Pemilik warung? Pemerintah setempat? Atau kita sebagai masyarakat yang seolah permisif terhadap fenomena ini?