[caption id="attachment_130821" align="aligncenter" width="648" caption="Zuhrotul Aziza Ahmadia"][/caption] Tiba-tiba saja. Ya, begitu tiba-tiba. Hatiku teramat rindu kepada Zuhrotul Aziza Ahmadia, putriku tercinta yang telah duluan kembali kepada-Nya. Maka, kubaca kembali bait demi bait puisi yang dulu kutulis dengan gemuruh rindu dan air mata…. Tak Kubaca Isyarat Itu kepergianmu betapa tiba-tiba, anakku sungguh, tak kubaca isyarat itu wajahmu masih saja berseri nan ayu meski terbaring, dalam sakit seminggu naik turun dari ruang picu dan tunggu ayah dan ibu hanya bisa berdoa untukmu eyang kakung dan putri mencintaimu seluruh keluarga mengharap sembuhmu tapi, pergimu betapa tiba-tiba, anakku sungguh, tak kubaca isyarat itu dua atau tiga malam menjelang ajalmu wangi itu selalu saja di sekitar tubuhmu sungguh, tak kubaca isyarat itu wajahmu bahkan semakin berseri nan ayu Yogyakarta, 2005 - Tepat Pukul 02.55 WIB detik-detik menjelang kau menghembuskan nafas yang terakhir, ayah dan ibumu berpacu dalam lari panjang menggapai-gapai ruhmu jangan pergi, anakku, jangan pergi, anakku tapi, detik-detik itu juga ayah dan ibumu tersadarkan, bila kepergianmu ternyata lebih baik untukmu, lebih baik untukmu maka: inilah ayah dan ibumu mengantarmu dengan bacaan tahlil yang menderu-deru dan tepat pukul 02.55 kau pergi, anakku dalam usia lima bulan tujuh belas hari selamat jalan, anakku, menuju hidup abadi Yogyakarta, 2005 - Selamat Jalan, Anakku --Zuhrotul Aziza Ahmadia “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali.” terasa baru kemarin engkau hadir, anakku menjadikan sepanjang siang dan malam adalah perjalanan waktu yang penuh bunga semua bahagia, ayah ibumu memeluk permata menjelang malam engkau hadir, putriku setelah empat tahun orangtuamu menunggu betapa debur syukur tiada hingga terpanjatkan semua karena kehadiranmu, kehadiranmu tetapi kini setelah lima bulan bersama, anakku di akhir malam engkau pergi untuk selamanya betapa seluruh ruang dada ini sesak dengan duka betapa seluruh lorong jiwa ini banjir air mata dan, betapa gemetar bibir ayah dan ibumu ini mengucapkan selamat jalan, selamat jalan duhai putriku Aziza yang amat tersayang kembali ke Pangkuan Sang Maha Penyanyang Yogyakarta, 2005 - Langkah Terberat pada tengah siang itu kugendong sendiri tubuhmu, duhai putriku, menuju makam betapa langkah ini adalah langkah terberat selama kaki ini menapaki hari-hari dunia ingin aku perlambat tapak demi tapak ini menyadari betapa dekapanku pada tubuhmu adalah yang terakhir kalinya, terakhir kali tetapi betapa orang-orang yang mengiring jenazahmu, berderap melangkah pasti dengan alunan kalimah-kalimah yang suci sungguh, mengantarkanmu menuju makam adalah langkah terberat yang pernah kurasa sebab bersamamu Aziza aku mengenal cinta bersamamu, putriku, aku menatap cahaya Yogyakarta, 2005 - Jika Tidak Karena jika tidak karena iman kepada-Mu, ya Rabb biarkanlah siang dan malamku hanyalah menangisi kepergian putriku tercinta sungguh seluruh dunia hanyalah gelap gulita jika tidak karena iman kepada-Mu, ya Rabb biarkanlah siang dan malamku hanyalah mengalirkan air mata agar menjadi bahtera dan aku berenang menuju putriku tercinta Yogyakarta, 2005 - Memahami Cinta akhirnya yang aku tahu hanyalah karena cinta Engkau memanggil Aziza agar jiwanya yang suci tiada berlepotan jelaga dunia tapi betapa susah memahami cinta bila tambatan cinta yang tercinta mesti terenggut segera padahal karena cinta Engkau, ya Rabb memanggil putri tercintaku, Aziza agar tiada susah-payah berlama kembali ke pangkuan-Mu yang mulia Yogyakarta, 2005 - Di Ujung Malam di ujung malam aku masih menangisi kepergianmu yang tiba-tiba, anakku betapa hanya sebentar aku memelukmu betapa hanya sesaat aku menciummu tidak bolehkah aku sepenuhnya duka sedangkan Nabi Muhammad saja meneteskan air mata ketika ditinggal Ibrahim putra tercinta di ujung malam aku masih menangisi kepergianmu yang mendadak, putriku betapa tawamu kini tinggal kenangan betapa manjamu hanyalah kesan tapi, engkaukah itu putriku, Aziza menari riang di sebuah taman betapa mewangi bersama bidadari betapa indah berkilauan permata “jangan bersedih, ayahku, aku di sini bahagia bersama bidadari yang baik hati.” duhai putriku, Aziza, duhai cinta kirimkanlah, kirimkan alamatmu segera di ujung malam, aku kian banjir air mata antara lara dan bahagia Yogyakarta, 2005 - Pada Setiap Pagi pada setiap pagi aku menggendongmu keluar rumah, mencari kehangatan mentari kudekap tubuhmu, kucium wajah ayumu dan betapa senyummu semburat manis sekali pada setiap pagi aku menggendongmu menyusuri gang-gang di perumahan kita engkau seolah menyapa siapa saja dengan tawamu, dengan lambai tanganmu hingga seorang nenek berkata, “inilah permata! sungguh inilah permata!” pada setiap pagi aku menggendongmu tapi, itu dulu, ketika Allah belum memanggilmu kini siapakah yang menggendongmu, putriku ya, bidadari, tangannya lebih lembut dekapannya menguarkan wangi, memelukmu Yogyakarta, 2005 - Hanya Rindu berantakan sudah seluruh pilar jiwaku oleh betapa duka karena kepergianmu tinggallah kini puing-puing yang lara berserakan nyeri melebihi pecahan kaca sebab belum sempat aku meminta maaf kasih sayangku padamu banyaklah khilaf lima bulan kehadiranmu hanyalah sesaat meninggalkan kenangan betapa dahsyat dan hanya rindu yang kini menguatkanku untuk bangkit menata langkah yang goyah ya, hanya rindu, bergelombang kepadamu Yogyakarta, 2005
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H