Mohon tunggu...
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Muhaimin Azzet Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis, blogger, dan editor buku.

Akhmad Muhaimin Azzet, penulis buku, blogger, dan editor freelance di beberapa penerbit buku. Beberapa tulisan pernah dimuat di Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Suara Karya, Ummi, Annida, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Bernas, Bakti, Kuntum, Yogya Post, Solo Pos, Suara Merdeka, Wawasan, Surabaya Post, Lampung Post, Analisa, Medan Pos, Waspada, Pedoman Rakyat, dan beberapa media kalangan terbatas.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan yang Membebaskan di Sekolah Miskin; Belajar dari Bu Muslimah dan Pak Julian

8 Juni 2011   04:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:45 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan di negeri ini bahwa masih banyak sekolah di daerah yang boleh dikatakan sebagai sekolah miskin. Betapa tidak, ada sekolah yang dindingnya terbuat dari papan kayu yang sudah jebol di sana-sini, eternitnya sudah banyak yang ambrol, lantai yang terbuat dari semen pun pecah-pecah dan berlubang, meja dan kursi pun tampak penuh dengan paku agar tak semakin reyot. Bila ditanyakan kepada kepala sekolah mengapa keadaan sekolah memprihatinkan seperti itu? Jawaban yang dipastikan muncul adalah tiadanya biaya untuk memperbaiki.

Keadaan sekolah yang jauh dari memadai sebagaimana di atas akhirnya membuat proses belajar mengajar pun berjalan tidak maksimal. Para murid dan guru tidak sedikit yang akhirnya menjalani proses belajar mengajar sebagai rutinitas tanpa dinamika. Para anak didik itu datang, belajar dengan segala keterbatasan, dan ketika matahari telah condong ke barat mereka kemudian pulang untuk membantu orangrtuanya yang jadi petani atau bahkan mungkin nelayan. Proses pendidikan yang berjalan demikian, biasanya tak lebih dari sekadar bagaimana membebaskan anak didik dari yang sebelumnya tidak bisa membaca dan menulis menjadi lancar melakukannya; dari yang sebelumnya tidak bisa berhitung menjadi bisa.

Keadaan sekolah sebagaimana di atas akan jauh berbeda dengan kedaan sekolah di daerah-daerah yang sudah maju atau bahkan di kota. Lantainya bagus dan bersih, temboknya dicat dengan warna-warna yang membuat bersemangat, tak ada eternet yang jebol, meja dan kursinya kukuh, dan bermacam peralatan untuk belajar pun tersedia dengan lengkap. Sekolah yang seperti ini membuat para guru dan murid betah ketika menjalani proses belajar mengajar. Tidak hanya betah, mereka pun bersemangat untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang sudah tentu akan berguna bagi kehidupannya di masa depan.

Di dalam sekolah yang tercukupi segala kebutuhannya dalam belajar, dinilai tidak hanya membebaskan anak didik dari ketidakmampuannya dalam membaca, menulis, dan berhitung saja, akan tetapi lebih jauh kepada pemahaman dan kesadaran dari hal-hal yang dipelajarinya. Hal inilah yang akhirnya membuat sebagian guru dan pengamat pendidikan di Indonesia menilai tidak adil jika pemerintah memaksakan kehendak dengan menerapkan standar ujian nasional. Belum lagi silang pendapat mengenai keberhasilan anak didik dalam belajar yang hanya dinilai dari lulusnya beberapa mata pelajaran saja. Menurut mereka, pemerintah boleh-boleh saja membuat standar kelulusan dengan ujian nasional bila sudah memenuhi kewajibannya dalam membenahi sarana dan prasarana sekolah-sekolah yang jauh dari memadai.

Mengangkat masalah ini, bukan berarti penulis serta-merta menyetujui bahwa pendidikan yang membebaskan hanya bisa dilangsungkan di sekolah-sekolah yang bagus dan lengkap segala sarana serta prasarananya. Sejatinya pendidikan itu harus mampu membebaskan mereka dari keterbelakangan intelektual di mana dalam prosesnya mereka harus merasakan situasi pembelajaran yang nyaman, menyenangkan dengan sarana dan prasarana yang memadai, demikian di antara pendapat itu. Sungguh, hal ini memang perlu diperhatikan dan dipenuhi. Pemerintah juga berkewajiban melakukan pemerataan dan perbaikan sekolah-sekolah yang jauh dari memadai. Namun, penulis juga tidak dapat menutup mata, bahwa tidak sedikit pula justru di sekolah-sekolah yang jauh dari memadai terdapat seorang guru yang mempunyai semangat yang tinggi dalam menjalankan tugas mulianya.

Ya, menjadi seorang guru pada hakikatnya menjalankan tugas yang sungguh mulia. Seorang guru rela dengan senang hati dan bersemangat mendampingi anak didiknya untuk memahami ilmu pengetahuan yang bermanfaat dalam kehidupan. Seorang guru yang demikian tidak tergantung pada sarana dan prasarana di sekolah dalam menjalankan tugasnya. Bila ada maka akan dimanfaatkan secara maksimal. Akan tetapi, bila tidak ada, maka ia pun memaksimalkan berbagai metode agar anak didiknya tetap bersemangat dalam belajar.

Bila kita membaca novel yang berjudul Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Herata, betapa kita melihat semangat seorang guru yang bernama Bu Muslimah yang luar biasa. Mengapa penulis mengangkat contoh novel ini. Tak lain dan tak bukan karena novel ini diakui oleh penulisnya diangkat dari kisah nyata atau pengalaman penulisnya sendiri di waktu kecil. Betapa Bu Muslimah tetap membangun semangat dirinya dan murid-muridnya meski kondisi sekolahnya tak jauh berbeda dengan kandang ayam. Bu Muslimah ternyata berhasil membebaskan anak didiknya dari ketertinggalan dan mempunyai semangat yang tinggi melalui proses belajar mengajar dilakukannya.

Begitu juga apabila kita membaca novel yang berjudul Sang Pemimpi yang ditulis oleh penulis yang sama. Betapa Pak Julian, seorang guru muda, yang berhasil membakar semangat anak didiknya untuk membangun dan meraih mimpi. Murid-murid Pak Julian jadi bersemangat untuk belajar dan memahami segala sesuatu agar apa yang telah menjadi cita-citanya dapat tercapai. Semangat yang menggelora itu tampak jelas dalam keseharian murid-muridnya ketika belajar, terutama Ikal, Aray, dan Jimbron yang ingin ke Paris dan Eropa. Tidak hanya bersemangat dalam belajar, mereka juga bersemangat menabung.

Apa yang dilakukan oleh Bu Muslimah dan Pak Julian patut menjadi semangat bagi para guru lainnya dalam mengemban tugas mulianya. Sarana dan prasarana boleh saja jauh dari memadai, akan tetapi semangat untuk membangun pendidikan yang membebaskan bersama anak didik tercinta tak boleh surut, apalagi mati. Jadi, mengembangkan pendidikan yang membebaskan sesungguhnya tak mengenal apakah sekolah yang bersangkutan terpenuhi atau tidak sarana dan prasarananya. Hal yang paling penting dalam mengembangkan pendidikan yang membebaskan adalah semangat untuk membangun kesadaran dalam diri anak didik agar senantiasa memperbaiki diri dan memahami ilmu pengetahuan.

Demikian pula dengan Freire, tokoh yang mengembangkan pendidikan yang membebaskan. Freire menerapkan gagasan pendidikan yang membebaskan pada masyarakat atau peserta didik yang kondisinya secara ekonomi dan politik berada pada wilayah yang jauh dari memadai. Para anak manusia yang setiap hari dikenalkan penuh semangat dengan dunia pendidikan yang membebaskan oleh Freire adalah mereka yang hidup dalam lingkungan pekerja kasar dan hidup dalam kemiskinan. Bahkan, Recife, daerah Freire mengembangkan gagasan pendidikannya, merupakan daerah yang paling terbelakang dan paling miskin di Brazil bagian timur laut.

Apabila penulis menekankan bahwa meskipun tanpa sarana dan prasarana yang memadai pendidikan yang membebaskan bagi anak didik tetap bisa dilangsungkan, bukan berarti penulis beranggapan bahwa sarana dan prasarana yang menunjang tidak penting. Sungguh, hal ini juga penting. Akan tetapi, bukanlah faktor utama apakah pendidikan yang membebaskan dapat dengan sukses dilakukan oleh seorang guru bersama anak didiknya. Hal yang penting adalah semangat dari seorang yang kemudian ditularkan kepada anak didiknya untuk berproses bersama-sama dalam pendidikan yang membebaskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun