Mohon tunggu...
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Muhaimin Azzet Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis, blogger, dan editor buku.

Akhmad Muhaimin Azzet, penulis buku, blogger, dan editor freelance di beberapa penerbit buku. Beberapa tulisan pernah dimuat di Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Suara Karya, Ummi, Annida, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Bernas, Bakti, Kuntum, Yogya Post, Solo Pos, Suara Merdeka, Wawasan, Surabaya Post, Lampung Post, Analisa, Medan Pos, Waspada, Pedoman Rakyat, dan beberapa media kalangan terbatas.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dalam Pesona Cinta (5)

15 Juni 2010   05:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:32 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Memang, tidak banyak para sopir bus yang benar-benar memperhatikan keselamatan penumpang. Rata-rata yang diperhatikan adalah bagaimana mereka dapat segera sampai di kota tujuan secepatnya. Main kebut, main teriak, tidak jarang main maki pengguna jalan lain yang tidak memberi kesempatan mereka untuk menyalip. Ya, benar kata abah, hingga saat ini baru bus Jalan Selamat yang benar-benar memberikan pelayanan yang memuaskan bagi penumpangnya. Bahkan, tidak hanya selamat di dunia, dengan mereka berhati-hati di jalan, tapi juga keselamatan di akhirat, dengan memberi kesempatan penumpang untuk berjamaah shalat. Memang, belum ada bus lain yang mencontoh cara bus Jalan Selamat. Padahal, pelanggan bus Jalan Selamat sangat banyak. Dengan demikian, secara bisnis pun sangat menguntungkan.

Tampak dari jalan arah timur sebuah bus dengan tulisan JS di atasnya. Tulisan itu begitu jelas karena ukuran hurufnya yang besar juga diterangi lampu yang menyala. Aku melambaikan tangan untuk menghentikannya. Dan, bus itu perlahan berhenti. Setelah berhenti dan seorang kenek turun lalu mempersilakan aku naik, aku pun segera menaiki bus kelas ekonomi yang full AC tersebut.

Alhamdulillah, ada satu kursi yang kosong di barisan nomor tiga dari belakang. Di sebelahnya, telah duduk seorang lelaki berumur sekitar 50-an tahun. Tampaknya dia tertidur dengan pulas. Tapi, bukan hanya dia yang tampak tertidur dengan pulas. Hampir semua penumpang bus ini, kecuali sopir, kondektur, dan kenek tentunya, sepertinya telah lelap dalam mimpinya masing-masing.

Aku duduk pelan-pelan, takut mengganggu ketenangan bapak tua yang berada di sampingku.

“Selamat tinggal semuanya…!” desahku dalam hati saat bus mulai melaju.

Tapi, patutkah aku mengucapkan selamat tinggal? Selamat tinggal kepada siapa? Kepada abah, ibu, adikku; tak mungkin aku mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Sebab, mereka memang secara fisik telah meninggalkan aku, tetapi secara ruhani di mana pun aku berada, tak mungkin aku bisa melupakan mereka. Doaku selalu teruntai untuk mereka.

Tapi, barangkali aku perlu mengucapkan selamat tinggal kepada desaku; kepada kotaku. Bagaimanapun, meski di desa dan kotaku sendiri, aku telah kehilangan semuanya. Semuanya telah direnggut begitu saja dari kehidupanku, biarlah kuucapkan selamat tinggal. Agar kekejaman yang serupa tidak terjadi lagi. Tidak menimpa orang selain aku dan keluargaku.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun