Mohon tunggu...
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Muhaimin Azzet Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis, blogger, dan editor buku.

Akhmad Muhaimin Azzet, penulis buku, blogger, dan editor freelance di beberapa penerbit buku. Beberapa tulisan pernah dimuat di Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Suara Karya, Ummi, Annida, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Bernas, Bakti, Kuntum, Yogya Post, Solo Pos, Suara Merdeka, Wawasan, Surabaya Post, Lampung Post, Analisa, Medan Pos, Waspada, Pedoman Rakyat, dan beberapa media kalangan terbatas.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dalam Pesona Cinta (1)

11 Mei 2010   05:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:16 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam merambat pelan menuju dini hari. Kabut semakin tebal memeluk bumi. Sungguh, tiada hal yang paling nikmat bagi seorang anak manusia kecuali mencari hangat di dalam selimut yang tebal. Dingin ini, ya… dingin ini betapa membekukan daging dan tulang. Hujan yang turun sejak sore hari, dan kini tinggal gerimis kecil, rupanya semakin melelapkan penduduk yang tinggal di perkampungan lereng Gunung Tunggorono* ini.

Malam semakin basah. Halaman rumah dan jalanan yang belum diaspal pun basah. Apalagi, pohon-pohon dan seluruh dedaunan, basahnya hingga menetes-netes ke tanah mengusik kesunyian malam. Demikian juga dengan aku, seluruh lorong dada ini lebih dari basah, air mata ini semakin membasah, mengalir ke pipi, jatuh ke jaket hitam ini.

Dinginnya malam tak menyurutkan langkah mantapku untuk meninggalkan Desa Sebrang Angin ini. Sungguh, aku tak merasakan dingin sama sekali. Kepedihan yang teramat hingga membuat basah seluruh lorong dada ini semakin menghangatkan jiwaku, bahkan membuat membara tekadku. Air mata yang membasahi pipi ini ibarat api yang menyala-nyala, membakar semangatku untuk segera meninggalkan desa ini.

Kupandangi sekali lagi, untuk yang terakhir kalinya, puing-puing yang telah menghitam luruh membentuk gundukan-gundukan kecil di atas tanah yang basah. Pandangan mataku berkitar dari satu gundukan ke gundukan yang lainnya. Adakah satu di antara gundukan itu adalah abu dari tubuh abahku, ibuku, dan adikku yang telah dibakar oleh orang-orang yang katanya berwajah merah padam itu? Rasanya sia-sia bila aku membongkar-bongkar kembali. Telah hampir setengah jam yang lalu pekerjaan itu kulakukan. Dan hasilnya? Barangkali mereka semua telah menjadi abu. Duh…, Allahumaghfir lahum warhamhum wa’aafihim wa’fu ‘anhum.**

(Bersambung)

* Sebuah dataran tinggi yang terletak di Kabupaten Jombang bagian barat. Melihat tanahnya yang tidak terlalu tinggi, sebenarnya daerah ini kurang tepat bila disebut gunung. Tapi, masyarakat sekitar secara turun-temurun menyebut wilayah ini sebagai Gunung Tunggorono.

** “Ya Allah, ampunilah mereka, rahmatilah mereka, selamatkanlah mereka, dan maafkanlah segala salah mereka.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun