Kiai Zainal meninggalkan seorang istri, yakni Nyai Malihah, dan seorang putri, yaitu Neng Hafshah yang kini baru kelas tiga Aliyah. Jadi, dari segi keturunan, pesantren ini memang belum mempunyai penerus. Dari segi kader, penerus, asisten, badal, atau santri senior, di pesantren ini belum ada yang bisa menggantikan Kiai Zainal. Satu-satunya kegiatan yang sampai sekarang masih berjalan adalah pengajian kitab ‘Irsyadul ‘Ibad pada malam Senin dan kitab at-Targhib wat Targhib pada malam Kamis. Pengajian ini khusus untuk santri mahasiswa yang dipimpin Kang atau Abah Ruslan. Dia dulu adalah santri senior di pesantren ini, tapi sekarang sudah berkeluarga dan tinggal di kota.
Itulah mengapa aku mengiyakan begitu saja ketika Alex menawariku untuk tinggal di pesantren ini. Paling tidak, santri mahasiswa yang jumlahnya kini tinggal lima orang akan bertambah menjadi enam, meski aku belum berstatus menjadi mahasiswa. Dengan bertambahnya jumlah santri yang mukim di pesantren ini, setidaknya inilah upaya untuk meneruskan pesantren ini sepeninggal Kiai Zainal. Apalagi, menurut penuturan Alex, ke depan akan diupayakan ada beberapa ustadz yang dimohon secara bergiliran seusai jadwal mengajar pada diniyah setiap bakda isya. Untuk sementara, pengajian tafsir bakda subuh yang biasanya diasuh Kiai Zainal, kini dilanjutkan dengan tadarus al-Qur’an secara bergiliran oleh santri yang tinggal.
Aku tiba-tiba menjadi bersemangat untuk tinggal di pesantren ini. Entah mengapa, dalam hati ini berdesir rasa untuk turut bertanggung jawab dalam melanjutkan tongkat estafet perjuangan dan dakwah yang telah dirintis Kiai Zainal. Rasa itu begitu kuat. Bahkan, lebih kuat dari tekad pada saat aku tinggalkan gundukan puing-puing menghitam dari seluruh masa laluku yang terbakar di desaku.
“Ya Allah, ilmuku memang masih teramat sangat sedikit. Kitab yang sudah kubaca juga masih hanya beberapa. Hafalanku terhadap ayat al-Qur’an dan hadits Nabi juga masih bisa dihitung. Pemahaman agamaku masih dangkal. Maka, hamba mohon petunjuk-Mu, semoga rasa semangat ini adalah karunia-Mu, bukan nafsu yang menyusup diam-diam ke relung batinku. Bimbinglah hamba-Mu ini agar dapat belajar lebih banyak di pesantren ini. Hanya kepada-Mu hamba menyembah, hanya kepada-Mu hamba mohon pertolongan, dan hanya ridha-Mu yang hamba harapkan.”
Maka, dengan bismillah…, nanti bakda shalat ashar, aku ditemani oleh Alex akan sowan kepada Bu Nyai, bersilaturahmi sekaligus meminta izin untuk tinggal di pesantren ini.
***
“Mau tinggal di sini? Boleh, silakan. Tapi…, apa sudah dipikir matang-matang. Semenjak ditinggal Abah Zainal, pesantren ini seperti kehilangan penyangga utama…,” Bu Nyai menunduk.
Suasana kesedihan masih sangat terasa. Untuk beberapa saat, ruang tamu dengan empat jendela lebar yang terbuka itu dicekam sepi. Aku dan Alex sepertinya bingung mau berkata apa. Beruntung, tak lama kemudian, dari ruangan dalam muncul sesosok perempuan berusia sekitar 40-an tahun, sepertinya yang membantu di rumah ini, membawa nampan yang berisi dua cangkir teh.
“Ayo, silakan diminum, mumpung masih hangat,” pinta Bu Nyai setelah dua cangkir teh itu ditata di atas meja dan perempuan yang menyajikan itu undur ke belakang.
Aku dan Alex segera minum. Betul kata Bu Nyai, dua atau tiga teguk teh itu benar-benar menghangatkan tenggorokan kami. Maka, segera saja aku menyampaikan tekadku untuk tinggal di pesantren ini.
“Nggih, mboten menopo, Bu Nyai, kulo sampun mantep bade manggen pesantren mriki.”*
“Oh, yo syukur nek ngono. Mengko diatur karo Alex yo. Saking pundi aslinipun?”**
“Kulo…, eh…, saya dari Jombang. Dulu, tiga tahun yang lalu saya pernah sowan ke sini bersama abah,” jawabku agak tercekat, karena sesungguhnya aku ingin menjawab pertanyaan Bu Nyai dengan bahasa Jawa, tapi aku khawatir salah ucap ke dalam bahasa Jawa yang tidak halus. Akhirnya, aku lebih memilih untuk berbahasa Indonesia saja.
“Oh ya? Maafkan saya bila tidak ingat. Siapa nama abahmu?” Bu Nyai pun berbahasa Indonesia, rupanya beliau paham dengan kekhawatiranku.
“Abdurrahman,” jawabku pendek.
“Dulu pernah mondok di Rembang?” sepertinya Bu Nyai teringat sesuatu dan penasaran.
“Ya, Bu Nyai.”
“Masya Allah…, Abah Zainal sering bercerita. Beliau adalah sahabat Abah Zainal yang paling akrab ketika mondok di pesantrennya Kiai As’ad, Rembang. Ya, betul itu, Abah Zainal pernah bercerita bahwa Pak Abdurrahman pernah ke sini bersama putranya. Ternyata putranya itu kamu to?! Sayang sekali, waktu itu saya ada pengajian di masjid kota, jadi kita tidak bertemu. Bagaimana kabar abahmu? Sehat dan baik-baik saja?”
Deg!
Pertanyaan Bu Nyai bagaikan beban berat yang lagi-lagi menghantam dadaku. Tapi, bagaimana lagi, aku harus menceritakan sejujurnya. Dan, memang inilah tujuanku selanjutnya setelah aku sudah tak punya siapa-siapa lagi. Di pesantren inilah rencanaku akan tinggal sekaligus menuntut ilmu. Bagaimanapun, hal ini juga termasuk keinginan abahku yang disetujui pula oleh Kiai Zainal. Bahkan, Kiai zainal pula yang dahulu memintaku untuk tinggal di sini. Inilah yang bagiku merupakan amanah yang mesti ditunaikan. Maka, dengan air mata yang kutahan-tahan, akhirnya kuceritakan kejadian terbakarnya rumahku di kampung hingga sampaiku di sini. Di ujung cerita, air mataku jebol juga.
------------
* Ya, tidak mengapa, Bu Nyai, saya sudah mantap akan tinggal di pesantren ini.
** Oh, ya syukurlah kalau begitu. Nanti diatur bersama Alex ya. Dari mana aslinya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H