Ada seorang ibu yang kesal sekali kepada tetangga barunya. Pada sore hari, sepulang suaminya dari bekerja, ia menumpahkan kekesalannya di hadapan sang suami tercinta. Ia kesal karena tetangga barunya tidak mendidik anak-anaknya dengan baik, demikian menurut seorang ibu yang kesal tersebut. Betapa tidak, anak tetangga baru tersebut yang berusia dua tahun suka mendorong-dorong teman bermainnya, dibiarkan begitu saja oleh ibunya; anaknya juga suka bermain ludah, bahkan meludahi temannya, namun ibu dari anak tersebut juga cuek saja. Tampak sekali ia merasa bahwa anaknya tak melakukan kesalahan atau ketidakbaikan yang perlu dibenahi.
Sang ibu tersebut semakin kesal karena ternyata anaknya yang juga berusia dua tahun meniru perilaku buruk anak sang tetangga tersebut. Anaknya yang sebelumnya tidak pernah mendorong-dorong teman sepermainannya, menjadi suka mendorong-dorong, bahkan anaknya menjadi suka bermain ludah dan ikut-ikutan meludahi temannya. Sungguh, perilaku buruk dari anak tetangga tersebut telah ditiru sepenuhnya oleh anaknya. Terutama suka meludah sembarang tempat, bermain ludah, atau bahkan meludahi temannya, perilaku buruk ini sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh seorang ibu yang kesal tersebut akan dilakukan anaknya. Betapa sangat menjijikkan, katanya.
Demikianlah kekesalan seorang ibu karena anaknya telah meniru perilaku buruk anak tetangganya. Kejadian seperti ini bukanlah sebuah kejadian yang langka. Bisa jadi di antara pembaca ada yang anaknya mengalami kejadian sebagaimana tersebut. Hal ini bisa terjadi karena sifat anak pada dasarnya adalah suka meniru atau melakukan imitasi. Anak adalah pribadi peniru yang terbaik. Dia akan meniru apa saja yang dilihatnya untuk dilakukan, terutama sesuatu yang baru baginya.
Berdasarkan kenyataan ini, setiap orangtua dapat memanfaatkan kemampuan istimewa dari anak-anaknya yang suka meniru untuk mencontohkan perilaku yang baik. Jangan sampai orangtua justru mencontohkan perilaku yang tidak baik. Hal ini sering tidak disadari oleh sebagian orangtua. Misalnya, orangtua menyuruh anaknya untuk belajar, namun orangtua malah menonton televisi di ruang tengah; atau orangtua menyuruh anaknya untuk berangkat ke masjid, tapi orangtua malah asyik membaca koran di ruang tamu. Sungguh, ini contoh tidak baik bagi sang anak. Semestinya ketika orangtua menyuruh belajar kepada sang anak, orangtua ikut menemani belajar atau setidaknya membuat suasana belajar nyaman dengan tidak menonton televisi. Demikian pula ketika orangtua mengharapkan anaknya rajin ke masjid semestinya orangtua mencontohkan dengan mengajak anaknya untuk bersama-sama pergi ke masjid.
Kembali kepada persoalan si ibu yang kesal karena anaknya meniru perilaku buruk dari anak tetangganya. Kasus seperti ini pun mungkin terjadi pada anak kita. Bagaimana cara menanganinya? Pada saat kejadian, sudah tentu hal penting yang harus ditunjukkan kepada anak kita adalah ekspresi ketidaksetujuan dari kita terhadap perilaku buruk tersebut. Ekspresi ketidaksetujuan ini penting agar anak kita mengetahui bahwa perbuatan yang sedang dilakukannya tersebut tidak baik. Untuk menghargai orangtua dari anak yang ditiru anak kita—yang barangkali mempunyai cara mendidik yang berbeda dengan kita—maka kita perlu mengeskpresikan ketidaksetujuan dengan cara yang wajar saja. Namun, apabila anak kita meniru perilaku buruk tersebut tidak hanya sekali, tetapi diulang-ulang pada kejadian tersebut, segera kita peluk anak kita untuk kemudian menjauh dari permainan tersebut.
Hal penting selanjutnya yang mesti kita lakukan adalah menyampaikan kepada anak kita dengan bahasa yang lembut bahwa perbuatan buruk tersebut tidak boleh dilakukan lagi.
“Adik..., besok tidak boleh mendorong-dorong temannya lagi. Kasihan kan dia didorong-dorong begitu. Apalagi meludahi teman. Apakah Adik mau didorong-dorong atau diludahi?”
Meskipun masih berusia dua tahun, anak sudah bisa diajak berkomunikasi sebagaimana di atas. Biasanya anak kita akan menjawab tidak mau atau menggelengkan kepala karena sifat dasar manusia adalah tidak mau bila disakiti atau dirugikan. Satu hal yang harus diingat bahwa dalam menyampaikan ini hendaknya tanpa dibarengi dengan rasa marah atau ancaman. Biarlah transfer nilai berjalan dengan baik sehingga masuk dalam kesadaran anak kita.
Dalam kesempatan transfer nilai, bisa juga disandarkan kepada Tuhan. Misalnya, “Adik ingin disayang Tuhan tidak? Kalau ingin disayang Tuhan, tidak boleh berbuat begitu lagi ya... karena Tuhan tidak suka kalau kita menyakiti teman kita.”
Ada kalanya seorang anak yang diperingatkan sekali saja sudah cukup. Namun, ada yang perlu berkali-kali. Di sinilah dibutuhkan kesabaran orangtua dalam mendampingi tumbuh dan berkembang anak-anaknya.
Salam keluarga bahagia,
Akhmad Muhaimin Azzet