Selanjutnya, kutunaikan shalat subuh dengan berjamaah. Dan, bacaan imam setelah Surat al-Faatihah itu…, “Am hasibtum an tutrakuu walammaa ya’lamillaahul ladziina jaahaduu waminkum walam yattahidzuu min duunillaahi walaa rasuulihii walalmu’miniina waliijah, wallaahu khabiirun bimaa ta’lamuun.”* Sungguh, semakin menderaikan air mataku.
Aku ingin berlama-lama dalam berdzikir dan berdoa setelah jamaah shalat subuh ini. Tetapi, segera aku sadar bahwa aku tidak sendirian dalam perjalanan ini. Seusai shalat, beberapa penumpang sudah mulai memasuki bus kembali. Aku pun segera bergegas.
“Dik Hasan, turun di mana nanti?” tiba-tiba saja Pak Syamsul sudah mendampingiku saat berjalan menuju bus.
“Jogja, Pak.”
“Sama dong kalau begitu.”
Ternyata, para penumpang sudah di dalam bus semua, tinggal aku dan Pak Syamsul saja yang tertinggal. Maka, kami pun berlari kecil menuju bus.
“Maaf, Bapak-bapak dan Ibu-ibu, apakah masih ada penumpang yang belum naik?” tanya sang kondektur sebelum bus berjalan.
“Sepertinya sudah semua, Pak,” jawab seorang bapak yang duduk di bangku paling belakang.
Bus meninggalkan halaman masjid dengan pelan. Tampak beberapa pedagang yang berjualan di sepanjang gang yang berada di timur halaman masjid menata dagangannya. Hari memang masih pagi, tetapi inilah saat kehidupan dimulai. Termasuk dalam hal mencari rezeki, seperti para pedagang itu. Tidak baik setelah shalat subuh lalu tidur kembali.
“Maaf, kalau boleh tahu, Jogja mana nanti yang dituju. Saya juga tinggal di Jogja lho…,” Pak Syamsul membuka pembicaraan kembali.
“Oh, itu…, Pak, saya mau ke pesantrennya Kiai Zainal yang berada di daerah Sleman.”