“Hmm…, saya tahu itu. Saya pernah sowan ke sana. Kiai Zainal itu orangnya ramah dan baik sekali. Tetapi, sayang….”
“Sayang kenapa, Pak?” aku menjadi tidak sabar pada saat Pak Syamsul berhenti dari bicaranya.
“Orang baik kadang dipanggil oleh Allah pada usia muda.”
“Maksud Bapak?”
“Lho, apakah Dik Hasan belum tahu kalau Kiai Zainal sudah meninggal dunia seminggu yang lalu?”
Aku menggelengkan kepala. Seluruh tubuhku terasa lemas sekali. Serasa semua tenagaku tiba-tiba dilucuti oleh sepasukan entah apa itu namanya. Satu-satunya orang yang akan kutuju, Kiai Zainal, telah menghadap-Mu, ya Allah…. Ke mana lagi hendak melangkahkan kaki ini? Aku seperti menjadi orang yang kehilangan arah. Oh, bukan seperti, tetapi aku mendadak telah benar-benar kehilangan arah.
Aroma pagi menerobos ke dalam bus JS. Kegelapan malam perlahan menggeliat dan melepaskan selimutnya. Kabut pun menipiskan diri menyambut pagi hari. Demikian pula dengan para penumpang bus JS ini, seusai shalat subuh, tampak wajah mereka lebih segar dari sebelumnya. Beberapa di antaranya tampak gembira dan menyingkap tirai kaca bus untuk memandang lebih jelas deretan hutan jati yang sedang bersemi.
Tetapi, tidak demikian dengan aku. Informasi tentang meninggalnya Kiai Zainal yang disampaikan oleh Pak Syamsul seakan membuat perjalananku ini menjadi sia-sia. Seakan tak percaya, telah aku pastikan sekali lagi kepada Pak Syamsul bahwa yang dimaksud Kiai Zainal itu adalah kiai yang mempunyai Pesantren Raudhatush Shalihin, yang berada di daerah Sumbersari, ya betul, memang beliau, kata Pak Syamsul. Sungguh, aku tak bisa lagi berkata-kata. Jika tadi malam aku mempunyai harapan yang besar untuk pergi ke Jogja demi menemui Kiai Zainal, kini harapan itu benar-benar hilang sebagaimana obor malam yang mulai menyala, tapi tiba-tiba badai menyapunya tanpa aba-aba dan tanda.
Sepeninggal abah, ibu, dan adikku, Kiai Zainal adalah satu-satunya harapanku untuk bernaung dan mendapatkan sosok orang tua serta keluarga. Aku masih ingat betul betapa abah selalu antusias bercerita kepadaku tentang masa-masa ketika abah di pesantren, lebih-lebih ketika menceritakan sosok Kiai Zainal. Sejak awal di pesantren, hubungan abah dengan Kiai Zainal sudah sangat akrab sekali. Bahkan, seperti saudara. Itulah mengapa ketika aku diajak abah ke pesantrennya Kiai Zainal tiga tahun yang lalu, beliau berkali-kali minta kepadaku untuk mau tinggal di pesantrennya. Kiai Zainal sangat menginginkan keakrabannya dengan abah tidak terpisah hanya karena jarak, maka aku sebagai anaknya abah diminta untuk tinggal di pesantrennya. Dan, aku tidak keberatan untuk itu. Aku ingin belajar banyak dari sosok kiai yang lisannya seakan tak pernah berhenti dari berdzikir itu.
Kini, semua orang yang aku dapat mengikatkan diri dalam kasih dan sayang sebagaimana keluarga telah menghadap-Mu, ya Allah…. Abah, ibu, adikku, juga Kiai Zainal. Lalu, ke mana lagi kaki ini melangkah, ya Rabb…. Hendak ke mana lagi diri ini kubawa, ya Ilahi. Duh…, meski kutahan-tahan, air mata ini menetes lagi. Sebab, tidak enak bila dilihat Pak Syamsul yang berada di sampingku, atau penumpang lain. Maka, segera kuhapus air mata ini dengan punggung tanganku. Biarlah hatiku saja yang gerimis, bahkan banjir oleh karena kesedihan.
Beruntung Pak Syamsul tidak begitu memperhatikanku, karena semenjak beliau menyampaikan informasi tentang meninggalnya Kiai Zainal tadi, aku nyaris limbung dan tidak dapat menguasai diri. Segera aku dalam hati memperbanyak membaca kalimat hauqalah dan hasbalah** untuk meneguhkan jiwa ini. Dan, aku segera meminta maaf kepada Pak Syamsul untuk tidur dalam perjalanan ini karena tadi malam aku belum tidur. Tapi, sudah setengah jam lebih aku memejamkan mata, belum juga aku dapat tidur. Kini, malah air mataku ingin saja segera menetes.