Mohon tunggu...
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Muhaimin Azzet Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis, blogger, dan editor buku.

Akhmad Muhaimin Azzet, penulis buku, blogger, dan editor freelance di beberapa penerbit buku. Beberapa tulisan pernah dimuat di Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Suara Karya, Ummi, Annida, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Bernas, Bakti, Kuntum, Yogya Post, Solo Pos, Suara Merdeka, Wawasan, Surabaya Post, Lampung Post, Analisa, Medan Pos, Waspada, Pedoman Rakyat, dan beberapa media kalangan terbatas.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dalam Pesona Cinta (4)

5 Juni 2010   05:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:44 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Subhanallah! Sungguh mulia pribadi sahabat sekaligus menantu Rasulullah Saw. yang dijuluki oleh Nabi sebagai baabul ilmi itu. Aku memang bukan Sayyidina Ali. Sungguh, tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan suami dari Sayyidah Fatimah az-Zahra itu. Tetapi, diterangi oleh kenyataan itu, nyali kemarahanku sedikit demi sedikit menjadi berubah arah.  Aku memang marah karena abah, ibu, adikku, dan rumahku menjadi sasaran kebiadaban mereka. Namun, lebih dari itu, aku marah karena alasan mengapa mereka melakukan itu semua. Tak lain dan tak bukan, karena keluargaku, yang mencoba untuk konsisten dalam menerapkan ajaran dan sunnah dari sang teladan agung Muhammad Saw., dianggap telah mempraktikkan ajaran sesat.

Desa Sebrang Angin telah jauh di belakang. Kini, aku tak perlu menoleh lagi karena jelas sudah tak kelihatan. Dua desa telah aku lalui, dan jalan besar yang menuju ke Kota Surabaya telah kutapaki beberapa langkah. Aku memang sudah terbiasa berjalan kaki dengan jarak yang lumayan jauh. Beberapa kali kalau dari pesantren pulang ke rumah, aku berjalan kaki. Padahal, jarak dari pesantren ke desaku tidak kurang dari lima belas kilometer. Awalnya terpaksa, karena sepeda kesayanganku dipakai oleh kawan santri. Tapi, lama-kelamaan menjadi terbiasa.

Beberapa tukang becak tampak terpulas di atas becaknya sambil berselimut sarung. Beberapa bus antar-kota dari Madiun, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, bahkan Solo dan Jogja melindas jalanan malam menuju Surabaya atau sebaliknya. Aku menunggu bus yang dari arah Surabaya menuju Jogja. Dan, tiba-tiba aku teringat abah yang pernah mengajakku ke Jogja pada saat aku liburan kelas tiga Tsanawiyah,* tiga tahun yang lalu. Ya, memang baru sekali aku pergi ke daerah istimewa yang hingga kini masih mempunyai keraton itu. Tapi, aku masih ingat betul harus naik bus apa dan turun di mana.

“Bus yang menuju Jogja memang banyak, tapi kita memilih yang Jalan Selamat saja. Para sopir bus Jalan Selamat memang terkenal hati-hati, tidak asal kebut di jalanan, dan… ini yang paling penting, pada saat adzan berkumandang pertanda shalat lima waktu tiba, sopir bus itu akan berhenti di masjid terdekat dan memberi kesempatan penumpang muslim yang ingin berjamaah. Bagi yang non-muslim, bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk istirahat, cari angin segar, cuci muka, bahkan makan,” cerita abah kenapa beliau sangat fanatik dengan bus Jalan Selamat.

(bersambung)

* Pendidikan madrasah setingkat SLTP .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun