Bergetar. Sungguh bergetar hebat jiwaku; untuk yang kesekian kali. Gemuruh menguasai seluruh lorong dada ini. Kakiku gemetar, seakan tidak kuat menanggung beban yang entah setara dengan apa beratnya ini. Air mataku tumpah. Banjir kembali.
“Assalamu’alaikum…, duhai Abah, Ibu, Adikku Husain, maafkanlah aku yang tidak berada di rumah untuk berjuang bersama kalian ketika kekejian dari orang-orang itu tumpah dan membakar rumah kita. Maafkan aku…. Semoga perjuangan kalian di jalan Allah tidaklah sia-sia.* Dan…, semoga Allah ‘Azza wa Jalla… menempatkan ruh kalian bersama para nabi, para shiddiqin, dan orang-orang shalih.** Allahumma amin, Ya Allah….”
Takut tak dapat menguasai kesedihan, segera kutinggalkan puing-puing yang berserakan dan menghitam itu. Langkah kakiku mantap, meskipun masih gemetar. Dalam gerimis begini, tak tampak satu orang pun warga desa sini yang keluar rumah. Dini hari yang dingin semakin membuat mereka lelap dalam mimpinya. Aku tak perlu mengendap-endap lagi takut ketahuan mereka. Atau, takut ketahuan seregu polisi yang menjaga ketat area bekas rumahku yang terbakar ini selama penyelidikan masih berlangsung. Sejak hujan deras mengguyur desa ini dua jam yang lalu, entah para polisi itu pergi ke mana. Aku melangkah dengan pasti. Menuju jalan aspal yang dilalui bus antar-kota antar-provinsi.
(bersambung)
* “…Dan orang-orang yang gugur pada jalan Allah (syahid), Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.” (QS. Muhammad [47]: 4).
** “Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. an-Nisaa’ [4]: 69).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H