Banyak ekspeksi yang bisa kita tunjukan dalam menyikapi hal yang terjadi di sekitar kita, salah satunya marah dengan dibarengi tidakan merugikan, terdiam, pergi dan banyak lagi. Tapi percaya tidak kalo ekspesi itu bisa diartikan sebagai cerminan watak kita, yah walau terkadang itu juga terlalu prematur. Tetapi sebagian orang justru ada yang memilih menyikapi banyak peristiwa atau suatu peristiwa dengan terdiam dan berfikir, yah kiranya itu adalah cara bersikap yang cukup ideal di era saat ini, walau pun ada beberapa sikap yang lain yang sama baiknya bahkan lebih baik dari itu. watak diam atau menahan diri dalam menyikapi satu nmasalah harus dicontohkan dan dipraktikkan oleh banyak kalangan, sikap semacam ini jadi penting ketika kondisi hari ini banyak masalah dimasyarakat yang disikapi dengan sangat reaksioner yang akhirnya menimbulkan gesekan atau konflik.
Sikap diam dan berfikir matang sebelum berkomentar atau mengambil langkah dalam menyikapi satu permasalah, baiknya di praktikan oleh para pejabat dan publik figur di Negara ini selain sikap seperti itu meredam konflik juga sebagai cerminan kematangan berfikir seseorang. Krisi kepercayaan dan konflik-konflik horisontal di masyarakat dewasa ini harusnya menjadi renungan kita semua, karena konflik itu tidak jarang di pantik oleh penyikapan yang kurang pas terhadap satu masalah. Kalangan  akademik hari ini sebenarnya mempunyai tantangan yang sangat berat, bagaimna sikap berfikir tenang dan berfikir mendalam dan logis menjadi budaya atau norma dalam bermasyarakat, minimal budaya ini bisa di jadikan satu norma dasar dan ciri kalangan akademik di lingkungan kampus atau lembaga pendidikan, bila ini telah menjadi norma dan budaya di lingkungan lembaga pendidikan niscaya bahwa kelak masyarakat secara luas akan ber norma demikian.
Percayalah bahwa norma dan etika yang baik adalah basis terbentuknya negara dan masyarakat yang adil dan makmur. Banyak norma dan etika ditengah kita yang sebenarnya sudah hidup dan bersemi namun seringkali layu dan mati atas nama kemajuan jaman dan kualitas berfikir, ini sebenarnya kesalahan yang luar biasa dan "kebodohan" yang tidak bisa di maafkan. Karena sejatinya kemajuan jaman dan kualitas berfikir tidak di tunjukan dengan sikap "anti sosial" tapi justru sebaliknya "peka sosial", kita bisa ambil contoh sederhana, handphone awal di citapan adalah untuk memudahkan komunikasi atar masyarakat yang punya jarak cukup jauh, ilmu pengetahuan selalu mendasarkan pengetahuannya yang berdasarkan riset, dimana didalam riset itu kita dituntuk melakukan komunikasi dengan banyak pihak. Jadi tidak layak lagi kalo kemajuan jaman dan kualitas berfikir di jadikan sebagai alasan kita berfikir pendek dan "anti sosial".
Orang yang mendalihkan sikap "anti sosial" nya dengn kemajuan jaman dan kualitas berfikir rata-rata berbanding lurus dengan kepribadiannya yang jarang berkumpul dan bersosialisasi secara langsung dengan masyarakat sekitar. Budaya kongkow-kongkow atau berkumpul di Indonesia (ada yg di balut dengan kemasan agama dan budaya dan macam namanya) sebenarnya punya peran setrategis dan penting dalam menjaga norma dan etika di masyarakat, tapi sering di anggap sebagai hal yang "kuno" dan tidak punya manfaat. Pemaham keliru seperti itu seringkali di kuatkan dengan argumen yang di balut dengan bahasa akademik menjadi terlihat berkualitas dan ilmiaah, padahal tidak. Dari kongkow-kongkow di lingkungan terkecillah budaya terus di brawat seperti budaya gotong royong dalam menyediakan makanan, budaya mendengarkan orang lain bicara dan banyak lainnya, dari situ juga sering muncul ide dan gagasan apik tentang bermasyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H