Mohon tunggu...
kang an
kang an Mohon Tunggu... Insinyur - belajar

meretas jalan menuai waktu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Karlota sebagai Manifestasi Kekuatan Bangsa dalam Menjawab Perkembangan Zaman

8 Mei 2023   21:52 Diperbarui: 8 Mei 2023   21:56 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Karlota atau dalam bahasa Indonesia berarti bergosip, istilah inih jamak di ucapkan di wilayah maluku utara, khususnya Kota Ternate. Kita tidak akan membahas tentang sumber, makna atau sejarah istilah itu, tetapi kita akan berbicara hal yang menarik dari istilah itu, yakni apa arti Karlota (bergosip) untuk masyarakat Indonesia. Satu ketika saya pernah membaca satu artikel yang di tulis oleh antropologi dari Negri Kincir Angin yang bernama Gerald Hendrik Hofstede yang merupupakan peneliti di Universitas Maastricht. Dalam penelitiannya itu dia mengatakan bahwa masyarakat Indonesia hidup dalam budaya kolektivisme, dimana dalam budaya ini masyarakat kita dipengaruhi lingkungannya dan mempengaruhi lingkungannya dalam berkehidupan. Intinya manusia mempengaruhi dan dipengaruhi.

Dalam paparannya sang ilmuan membuat metode untuk mengkategorikan masyarakat di sebuah negara berdasarkan dimensi kultur. Diantaranya ada Jarak kekuasaan (power distance), ada Tingkat ketergantungan (individualism), ada maskulinitas (masculinity), ada juga Penghindaran ketidakpastian (uncertainly avoidance), lalu Orientasi jangka panjang (long term orientation) dan yang terahir Tingkat kesenangan/kepuasan (indulgence). Penjelasan dimensi kultur secara lebih lanjut bisa dilihat di slide berikutnya. Saya jelaskan 2 aspek saja yaitu power distance dan collectivist.

Nah kalo seperti itu kategorinya lalu, Indonesia termasuk kategori yang mana?. Indonesia mendapatkan indeks paling tinggi di dimensi jarak kekuasaan (power distance), Ini berarti bahwa Indonesia mempunyai budaya yang sangat bergantung kepada hierarki, ketidaksetaraan hak antara pemegang kekuasaan dan rakyat biasa, pemimpin bersifat direktif, berkuasa penuh dan mengontrol segalanya, haus akan hormat. Hal ini juga berlaku seperti gambaran di dunia Pendidikan, guru tahu segalanya dan murid hanya diam menerima.

"Murid model kamu kayak gini yakin keterima di universitas negeri?"

"percuma kamu belajar ga akan bisa, otakmu ga sanggup"

Masyarakat dengan tingkat Power Distance yang tinggi juga akan cenderung menjadi pencari opini (opinion seeker) dibanding masyarakat dari budaya dengan Power Distance yang rendah.

Yang kedua, masyarakat kita masuk ke dalam golongan collectivist / kolektivisme. Kolektivisme adalah sejauh mana masyarakat membutuhkan satu sama lain. Bayangkan kita berada di sebuah kapal yang kecil. Setiap orang yang ada di kapal itu harus menjalankan perannya masing-masing. Kalau ada satu aja yang gagal menjalankan peran, karamlah tuh kapal. Indonesia, terutama masyarakat di pulau Jawa, mengandalkan sektor agraris untuk bertahan hidup. Misalnya, kalau mau nanem padi kan harus minta bantuan orang lain. Supaya mereka mau membantu, ya kamu harus menyesuaikan diri kamu dengan orang lain, terutama masyarakat di tempat tinggal kamu. Lalu, Gimana caranya supaya masyarakat tetap berada dalam koridor yang sama supaya keteraturan tetap terjaga?

Ya dengan Kerlota (bergosip). Gosip adalah salah satu alat untuk menjaga kohesi atau keserasian hubungan antar masyarakat.

"Hih liat tuh anaknya bu Yul, bajunya itu itu mulu

yang dipake.."

"Ih, jeng, masa ya? Anaknya si ibu C ya,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun