Film Dead Poets Society (1989) yang disutradarai Peter Weir ini menjadi salah satu di antara tugas pertama yang harus kami kerjakan, lebih tepatnya ditonton, oleh kami mahasiswa Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tugas lainnya di mata kuliah Introduction to Literary Analysis ini tentunya adalah mencari tahu “what is literature?”
Saya memiliki asumsi kala itu mengapa harus film ini yang ditonton, atau mengapa tugas seperti ini yang diberikan. Yang pasti film ini telah menjadi stimulus untuk mengawali kisah bersastra atau menjadi akademisi sastra bagi mahasiswa jurusan Sastra Inggris. Di dalamnya ada kisah seorang guru Welton Academy di tahun 1959 yang mengajarkan siswanya untuk memahami puisi sebagai cara untuk mengekspresikan diri dan menjadikannya alasan untuk tetap hidup.
“Medicine, law, business, engineering: these are noble pursuits and necessary to sustain life. But poetry, beauty, romance, love: these are what we stay alive for. We don’t read and write poetry because it’s cute. We read and write poetry because we are members of the human race. And the human race is filled with passion.”
Itu adalah ungkapan sang guru eksentrik bernama John Keating (Robin Williams) dalam salah satu scene di dalam film tersebut. Pengenalan puisi dalam bentuk tontonan atau visual dimaksudkan sebagai cara untuk mengedepankan hal-hal yang dapat menarik perhatian kami sebagai mahasiswa baru kepada salah satu obyek yang akan terus berinteraksi dengan kami selama menjadi mahasiswa sastra, ya obyek berupa karya sastra puisi tersebut. Tentu ada pula genre lain selain puisi, yakni prosa dan drama, namun puisi dikenalkan di awal sebagai genre sastra yang pengungkapannya paling dikemas padat dan sederhana.
Asumsi lain yang dapat dikedepankan khususnya bagi saya pribadi adalah tentang salah satu karakternya yang bernama Neil Perry (Robert Sean Leonard). Ia diceritakan sebagai sosok yang paling terinspirasi oleh ungkapan Keating sepanjang film yang salah satu dampaknya adalah keinginannya yang begitu kuat untuk mengasah kemampuan aktingnya dalam sebuah pementasan drama, sesuatu yang dilarang ayahnya yang lebih memilih menyuruh Neil untuk fokus pada sekolah, masuk militer, lalu kuliah kedokteran di Harvard. Sang ayah melarang Neil untuk berkecimpung terlalu dalam di kegiatan lain semisal ekstrakurikuler di Welton apalagi di luar itu (pementasan drama tersebut).
Melalui jalinan peristiwa yang dialami Neil tersebut, saya mendapati sosok seorang pejuang yang rela mengorbankan apa saja demi tujuan baiknya. Sudah tentu impian tampil dalam drama “A Midsummer Night’s Dream” yang ditulis Shakespeare bukanlah tujuan yang buruk. Lalu saya pun termotivasi oleh karakter ini untuk mengejar impian yang berkenaan dengan aktivitas bersastra selama menjadi mahasiswa Sastra Inggris. Bersama seabreg impian lainnya, mempelajari sedalam-dalamnya tentang jurusan tersebut adalah salah satunya.
Stimulus yang diberikan karakter tersebut cukup membekas meskipun sebagian kawan-kawan saya menganggap remeh film tersebut berkaitan dengan sisi romantik Keating yang sangat kental tanpa menyadari betapa kuatnya romantisisme dalam Sastra Indonesia selama 100 tahun terakhir.
Mata pelajaran yang diampu Keating di Welton Academy, kalau saya boleh tebak, adalah Bahasa dan Sastra Inggris. Kita bisa memperbandingkannya dengan pelajaran serupa Bahasa dan Sastra Indonesia yang kita temui baik di sekolah menengah tingkat pertama maupun atas.
Selain mengenalkan kosakata yang lebih Inggris ketimbang menggunakan “very” dari “very sad” menjadi “morose”, Keating mengaplikasikan metode pembelajaran yang dapat merangsang siswa supaya aktif selama di kelas bahkan menggunakan metode out of the box. Merobek kertas, menghidupkan suasana kelas, mengajak berteriak, dan lain-lain adalah cara yang dilakukan Keating dalam mengajarkan bahasa dan sastra.
Aktivitas bersastra menjadi hal yang menyenangkan, tidak melulu terkungkung oleh keharusan berimajinasi yang dianggap rumit oleh sebagian siswa sehingga memunculkan meme “pelajaran matematika nyuruh mikir malah ngarang, pelajaran bahasa Indonesia nyuruh ngarang malah mikir”.
Film ini tidak terlepas dari sisi kontroversialnya, sekali lagi menurut saya, berkaitan dengan pola asuh ayah Neil (Kurtwood Smith) yang sangat otoriter dalam menentukan masa depan mengenai pendidikan Neil. Efek domino dari pola asuh tersebut adalah tindakan bunuh diri yang dilakukan Neil mendekati akhir film. Tindakan Neil memang tidak bisa diterima sebagian kalangan, begitu juga pola asuh sang ayah yang tidak bisa ditolerir begitu saja. Keduanya merupakan jalinan sebab-akibat yang mendukung dalam penceritaan karakter utamanya, John Keating, yang di akhir film justru dipecat dari Welton Academy karena dianggap tidak bisa menjaga etika terhadap lembaga.