Hari ini (Jum'at, 25 Jul'14) adalah hari terakhir pengajuan gugatan atas hasil Pilpres 2014 yang sudah ditetapkan Komite Pemilihan Umum (KPU) tgl 22 Juli lalu. Hal ini dilakukan setelah prosedur gugatan di tingkat Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) ditempuh dan hasil rekomendasi Bawaslu tidak diindahkan KPU.
Dan kubu Prabowo-Hatta benar-benar mengajukan gugatannya dengan mengajukan bukti hingga 10 truk. Banyaknya bukti gugatan ini karena semata mengacu pada form C1 sebagai rekapitulasi penghitungan di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS), yang merupakan data awal penghitungan perolehan suara dimulai.
Dalih yang digunakan di antaranya adalah penggelembungan suara salah satu pasangan, pemilihan fiktif di Papua. Belakangan beredar video pencoblosan oleh petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di salah satu daerah di Papua tanpa penyelenggaraan pemilu. Selain itu, ditemukannya ratusan kotak suara yang masih bersegel, yang berarti kotak suara tersebut tidak pernah dibuka. Kalau tidak dibuka, berarti tidak pernah dilakukan penghitungan atau pengambilan hasil rekapitulasi yang disimpan di dalamnya. Parahnya, hal ini terjadi di salah satu kecamatan di Ibu Kota. Kok bisa?
Di pihak lain, kubu Jokowi-Jusuf Kalla sedang bersuka ria atas penetapan KPU ini. Terlebih setelah kabarnya dapat telepon dari pemimpin maupun perwakilan pemimpin negara di dunia, termasuk negara tetangga, Uni Eropa & Amerika. Di laman resminya, Jokowi meminta pendapat rakyat tentang kandidat menteri yang sesuai. Jokowi bahkan sedang bersiap mengajukan pengunduran dirinya setelah Lebaran nanti untuk menyongsong pelantikannya sebagai presiden di bulan Oktober.
Kubu Jokowi boleh berlega sebentar, tapi harus menahan diri untuk tidak terlalu bereforia. Sebab, Husni Kamil pernah menyatakan bahwa keputusan KPU di tanggal 22 Juli belumlah mutlak. Husni menyadari, dalam pilpres potensi gugatan pasti akan terjadi. Oleh karenanya, kalau ada gugatan terhadap hasil pilpres yang dikeluarkan KPU, maka keputusan final ada setelah disahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). (sumber)
Memang sejauh ini, pilpres berlangsung sebelumnya (2004 & 2009) belum pernah ada sejarahnya gugatan pilpres menghasilkan keputusan MK yang membalikkan hasil keputusan KPU. Seiring waktu, ketua MK telah mengalami pergantian 4 kali. Mulai dari Jimly, Mahfud MD, Akil Mochtar, hingga Hamdan Zoelva.
Kita perlu mengapresiasi para pakar hukum tata negara yang memberikan ruang penyelesaian tanpa intervensi politik maupun senioritas. Yang pertama, Mahfud MD jelas sebagai Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta. Mahfudz sudah menegaskan akan mengakhiri kerjanya sebagai ketua tim pemenangan pada 22 Juli lalu, apa pun hasilnya. Sebab, Mahfudz sudah memprediksi bahwa pilpres akan berakhir di MK. Kalau dia masih menjabat sebagai ketua tim pemenangan salah satu pasangan capres, tentu akan berhadapan dengan mantan koleganya di MK. Sikap dan pilihannya untuk mengakhiri tugas sebagai ketua tim pemenangan Prabowo-Hatta sikap yang arif & bijak untuk menjaga independensi & legitimasi MK.
Sosok pakar hukum tata negara yang lain, adalah Yusril Ihza M. Berbagai kasus gugatan terkait perkara konstitusi yang diajukannya di MK selalu dikabulkan (sumber). Â Sikap yang perlu diapresiasi dari sosok Yusril adalah tidak memihak salah satu pasangan pilpres dengan mengamati pilpres sambil menikmati festival film di luar negeri. Sikap Yusril yang arif dan bijak ini didasari keberadaan koleganya sesama praktisi hukum dan sesama pegiat di Partai Bulan Bintang (PBB) yang sekarang menjadi ketua MK, Hamdan Zoelva. Dan Yusril sedari awal menyatakan netral. Pengalaman dan kepakarannya yang melihat bahwa pilpres kali ini akan berakhir dengan keputusan di MK membuat Yusril memiliki sikap yang tepat untuk menolak pinangan dari kubu Jokowi untuk menjadi penasehat hukum dalam proses gugatan di MK.
Sosok yang terakhir adalah sang ketua MK sendiri, yaitu Hamdan Zoelva. Posisinya yang cukup sulit untuk mengangkat kembali citra MK setelah sempat terjatuh karena kasus suap Akil Mochtar dalam penanganan Pilkada Lebak. Persidangan gugatan pilpres di MK kali ini akan menjadi taruhan. Legitimasi & independensi MK akan menemukan titik balik meraih kepercayaan publik jika mampu memutuskan perkara dengan adil dan bijaksana. Hamdan sangat diuntungkan dengan tidak bermainnya Mahfudz MD & Yusril IM dalam persidangan nanti. Hamdan terbantu karena keputusan di MK yang final lahir dari keputusan secara kolektif hakim konstitusi yang berjumlah 9 orang. Keputusan MK akan sangat dinantikan jutaan massa pendukung Prabowo-Hatta & Jokowi-JK.
Jika MK memutuskan bahwa dengan bukti yang diajukan pasangan Prabowo-Hatta tidak valid dan tidak perlu diadakan pemungutan suara ulang (PSU), maka pasangan Jokowi-JK melenggang menjadi Presiden-Wakil Presiden RI 2014-2019. Akan tetapi jika MK memutuskan harus dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) sebanyak sekian ribu TPS di beberapa daerah, maka KPU harus melaksanakannya dan melaporkan hasilnya ke MK. Jika hasil penghitungan akhir menyatakan pasangan Jokowi-JK yang unggul, maka ini akan menjadi pembelajaran politik besar untuk demokrasi di Indonesia untuk benar-benar menyelenggarakan pemilu yang jujur, bersih, dan adil sekaligus tamparan kepada KPU selaku penyelenggara pemilu yang tidak mengindahkan rekomendasi Bawaslu. Dan saya yakin, meskipun kalah Prabowo-Hatta akan menerima dengan legowo pun juga pendukungnya. Tapi setidaknya sejarah mencatat, pilpres yang ketiga ini diputuskan MK dengan arif dan bijaksana.
Permisalan yang terakhir adalah jika MK memutuskan harus dilakukan PSU dan setelah lakukan penghitungan akhir menyatakan pasangan Prabowo-Hatta yang berbalik unggul sudah pasti menjadi sejarah dan pembelajaran berharga untuk demokrasi di dunia. KPU tidak akan mendapatkan kepercayaan publik. Potensi masalah akan muncul dari kedewasaan pasangan Jokowi-JK beserta pendukungnya dalam menyikapi hasil keputusan MK ini. Chaos dan kerusuhan pun mengintai kepanikan rakyat Indonesia. Dan sepertinya presiden kita pun sudah mengantisipasi dengan menempatkan mantan Pangkostrad dan Pangdam, Letnan Jendral Gatot Nurmantyo, jenderal lulusan akmil 1982 untuk bisa mendukung Jendral Moeldoko sebagai Panglima TNI dalam menghadapi potensi kerusuhan agar tidak berlarut-larut. SBY sepertinya paham, proses transisi ini perlu didukung oleh para perwira lapangan yang berpengalaman untuk bergerak cepat yang tidak terjebak dengan salah satu kandidat. Agar proses transisi ini berlangsung aman dan kondusif, dan Presiden SBY menjadi sukses dengan good ending.