Dieng berasal dari bahasa Kawi; “Di” yang artinya tempat atau gunung, dan “Hyang” yang berarti Dewa. Dieng adalah tempat bersemayamnya para Dewa dan Dewi pada sekitar abad ke-7 Masehi/pra-Medang. Pendapat lain mengatakan, Dieng berasal dari bahasa Sunda; “di hyang” karena pada masa tersebut daerah dieng berada dalam pengaruh kerajaan Galuh (sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Dieng).
Perjalanan ini, tentu saja, bukan untuk mengunjungi para Dewa dan Dewi, tetapi sekedar perjalanan wisata untuk menikmati dinginnya udara Dieng dan menunggu matahari terbit yang tentu saja menjadi magnet dan tujuan utama bagi setiap penjelajah di dataran tinggi ini. Pada siang hari, suhu dieng berkisar 12-20°C dan 6-10°C pada malam hari. Setelah hunting kesana kemari, diskusi dengan berbagai narasumber dan memastikan jarak tempuh serta rute Surabaya – Wonosobo – Dieng dari mbah google, sempat melalui meeting yang sangat alot, terjadi perbedaan pendapat dan bahkan aksi walkout, akhirnya disepakati secara aklamasi, wisata minggu ini adalah dataran tinggi dieng. Itinerary, akomodasi dan serta persiapan lainnya final dalam waktu 1,2 hari.
Etape 1: Surabaya-Semarang: Rute yang dipilih adalah pantura (pantai utara), tentu saja rute ini tidak terlalu sulit karena dilalui oleh berbagai kendaraan terutama bus dan truck yang menjadi ciri khas jalur pantura. Menggunakan Fortuner pinjaman, kami ber 5; Yo (driver 2), Vi (penyanyi), Mo (snack dan makanan), Wil (navigator), serta Al (driver 1), berangkat Sabtu subuh (04.30) dari Surabaya melalui Gresik, Lamongan dan Tuban kemudian mampir dialun-alun Blora untuk sarapan dan menikmati sate kambing dan ayam dengan bumbu kecap dan kacangnya yang khas. Perjalanan sepanjang kurang lebih 98km terobati dengan canda dan tawa sepanjang perjalanan.
Pondok sate mustika, Alun-alun Blora. (photo by ATB)
Rute selanjutnya adalah Purwodadi kemudian ke Semarang. kami sepakat ini adalah perjalanan yang penuh cinta damai, tidak terburu-terburu alias biar lambat asal selamat. Karena alasan “jaim” dan gengsi, waktu tempuh Surabaya-Semarang, kami nyatakan classified dan tertutup untuk umum hehe (saking lambatnya). Berkat bantuan GPS – Here Drive Nokia Lumia (bisa offline loh) jadi tidak perlu nyasar.
Etape 2: Semarang-Temanggung-Wonosobo: Etape ke 2 adalah rute Semarang-Temanggung dan Wonosobo, atau sekitar 100km lagi (menurut GPS). Memasuki daerah Temanggung, tersaji pemandangan alamnya yang sangat menarik. Sayangnya hujan terus mengguyur sepanjang perjalanan menuju Wonosobo. Rencana ber selfie ria sambil menikmati sunrise dari arah sindoro akhirnya batal. Hujan deras yang menjadi teman setia sejak meninggalkan Semarang, kembali menyambut kami ketika memasuki daerah Wonosobo. Dengan penuh kesabaran, akhirnya kami dipertemukan dengan Sendangsari – Bamboo Homestay (http://sendangsaribamboo.com) yang menjadi tempat kami bermalam, sebelum menuju Dieng keesokan harinya. Oh ya, Sendangsari bamboo homestay ini bisa menjadi rujukan bagi yang anda yang suka bertualang dan ingin ke Dieng. Tempatnya cukup nyaman dan harga tidak sampai membuat anda “kanker” alias kantong kering. Tapi, jika menggunakan mobil, jalan ke home stay ini agak kecil dan harus berhati-hati karena mendaki, dan jika berpapasan dengan kendaraan lain harus ada yang mengalah.
Setelah beristirahat yang cukup, jam 2 pagi kami sudah bersiap-siap lagi.Setelah sarapan dengan sereal, pop mie dan seteguk teh manis panas (tips; sebaiknya membawa makanan dan makan secukupnya sebelum berkelana ke dieng, apalagi jam 2 pagi). Perjalanan kami lanjutkan menuju dieng, jalan yang menanjak dan berliku plus sangat berkabut menjadi santapan pagi itu. Perjalanan ke dieng ini, mengingatkan saya pada perjalanan wisata di makassar menuju tanah toraja. Tipikal jalannya hampir sama, berkelok-kelok dan menanjak.
[caption id="attachment_350594" align="aligncenter" width="420" caption="Dieng-Wonosobo. (photo by ATB)"]
Puncak Sikunir
Setelah bertemu Mas Dwi, sang pemandu (rekomendasi dari Bamboo Homestay) yang akan mengantar kami ke Sikunir, dari Jl. Raya Dieng kami harus menempuh perjalanan yang sangat berkabut (sekitar 30 menit, karena kendaraan harus pelan). Banyak penjelasan dan cerita menarik sambil menuju Sikunir (saya kok selalu menyebutnya Cikunir ya). Setelah mendapatkan tempat parkir di dekat danau Sikunir, kami mempersiapkan segala sesuatunya sebelum mendaki puncak Sikunir. Oh ya, sarana toilet sangat memadai ditempat ini, sehingga bagi anda yang “sutinah” alias sudah tidak nahan mau pipis tidak perlu khawatir.
Diluar dugaan, ternyata wisatawan lokal seperti saya sangat banyak dan tentu saja memiliki tujuan yang sama dengan saya. Iya, puncak Sikunir. Tentu saja untuk menyaksikan matahari terbit. Jalurnya sangat terjal, berbatu dan cukup gelap (jam 4 pagi) tetapi banyak rombongan yang membawa senter sehingga dan setiap saat ada arahan dari para pemandu wisata lainnya. Oh ya, bagi anda yang mengalami gejala penyakit jantung, asma, rematik, sangat tidak disarankan untuk mendaki ya. Menurut Mas Dwi, semakin tinggi kami mendaki, kadar oksigen semakin tipis dan tentu saja sangat berbahaya bagi anda yang memiliki gejala penyakit yang saya sebutkan tadi.
Sepanjang pendakian, pemandangan dipenuhi dengan wisatawan yang pingsan, kaki keseleo dan oto keram. Saya beruntung, semua peserta perjalanan sangat sehat dan cukup tangguh untuk diandalkan (Sheila on 7 – Seberapa Pantas). Setelah tertatih-tatih, pontang-panting, jatuh bangun, akhirnya sampailah kami di puncak Cikunir, eh Sikunir.
[caption id="attachment_350596" align="aligncenter" width="420" caption="Puncak Sikunir, Dieng-Wonosobo. (photo by ATB)"]
[caption id="attachment_350597" align="aligncenter" width="389" caption="Puncak Sikunir, Dieng-Wonosobo. (photo by ATB)"]
[caption id="attachment_350611" align="aligncenter" width="420" caption="Ki-ka: Vi (penyanyi sepanjang jalan); al (driver 1); Yo (driver 2) Puncak Sikunir, Dieng-Wonosobo. (photo by ATB)"]
Sayangnya, sunrise yang kami tunggu-tunggu tidak kunjung datang. Gerimis sempat “mengganggu” sesi pemotretan kami. Pesanan kopi dan pop mie akhirnya kami batalkan karena harus segera turun dan bersegera berlindung dari sang hujan. Tidak terbayangkan kalau ber hujan ria diatas punca Sikunir, basah kuyup pastinya. Tentu saja, turun dari Sikunir akan menyulitkan, jalan yang licin dan tentu saja akan sangat dingin. Next time, kami akan berkunjung lagi.
Danau Sikunir
Danau Sikunir, Dieng-Wonosobo. (photo by ATB)
[caption id="attachment_350599" align="aligncenter" width="389" caption="Danau Sikunir, Dieng-Wonosobo. (photo by ATB)"]
[caption id="attachment_350600" align="aligncenter" width="420" caption="Danau Sikunir, Dieng-Wonosobo. (photo by ATB)"]
[caption id="attachment_350602" align="aligncenter" width="420" caption="Danau Sikunir, Dieng-Wonosobo. (photo by ATB)"]
Telaga Warna
Telaga ini berada diketinggian 2000 meter diatas permukaan laut (sumber: id.wikipedia.org). Diberi nama telaga warna, karena ada fenomena alam yang terjadi, yaitu warna air telaga sering berubah. Waktu yang tepat untuk menikmati pemandangan di telaga ini sebaiknya saat pagi hari sebelum kabut menutupi telaga.
[caption id="attachment_350604" align="aligncenter" width="384" caption="Telaga Warna, Dieng-Wonosobo. (photo by ATB)"]
[caption id="attachment_350605" align="aligncenter" width="366" caption="Telaga Warna, Dieng-Wonosobo. (photo by ATB)"]
Telaga Warna, Dieng-Wonosobo. (photo by ATB)
Banyak tempat yang belum kunjungi. Diperlukan sekitar 2 (dua) hari untuk mengelilingi kawasan dieng dan tentu saja ada waktu untuk beristirahat.
Ini cerita kami, mana cerita kamu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H