Mohon tunggu...
Abduh khaerul alhaq
Abduh khaerul alhaq Mohon Tunggu... Freelancer - Kultivator

Belajar menerjemahkan rasa dan pikiran disini

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Memahami rasa di balik "nama"

14 Desember 2024   00:05 Diperbarui: 14 Desember 2024   00:06 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Merbabu via selo(pocof3)

Cinta, sebuah kata sederhana namun penuh makna, seringkali hadir dalam berbagai bentuk dan fase dalam hidup kita. Di zaman sekarang, cinta seakan menjadi tren: ada yang pacaran, menikah muda, atau sekadar menyukai seseorang diam-diam. Saya tidak menyalahkan mereka yang memilih jalannya sendiri dalam cinta, karena setiap orang punya hak atas perasaannya. Namun, satu pertanyaan penting yang perlu kita renungkan: Sudahkah kita benar-benar memahami apa itu cinta?

Banyak yang menganggap cinta sebagai rasa yang muncul karena penilaian: wajah yang rupawan, sikap yang santun, atau kriteria ideal yang secara ajaib hadir dalam bentuk nyata. Tapi, apakah itu benar-benar cinta? Atau justru hanya ekspektasi yang kebetulan terpenuhi?

Cinta sejati, menurut saya, hadir tanpa syarat, tanpa penilaian, tanpa hitung-hitungan. Ia adalah rasa yang muncul begitu saja, tanpa alasan logis yang bisa dijelaskan. Ketika kita mencintai seseorang tanpa tahu kenapa, tanpa harus menyebutkan alasan seperti “karena dia baik” atau “karena dia cantik,” itulah cinta yang sebenarnya.

Cinta sejati tidak mengukur, tidak menimbang, dan tidak menilai. Ia hadir murni sebagai emosi yang tidak terdefinisikan. Di sinilah letak esensinya: cinta sejati tidak meminta kita untuk menjelaskan atau memvalidasi rasa itu.

Sayangnya, cinta seringkali disalahartikan sebagai transaksi emosi. Kita “mencintai” seseorang yang sesuai dengan keinginan atau ekspektasi kita, layaknya membeli barang yang memenuhi kriteria. “Dia cantik, maka aku suka,” atau “Dia baik, maka aku ingin bersamanya.” Pada akhirnya, ini bukan cinta, melainkan sekadar kepuasan atas terpenuhinya standar yang kita buat sendiri.

Cinta bukan jual-beli, cinta bukan dagang.
Ketika seseorang berkata, “Aku jatuh cinta karena dia memenuhi kriteriaku,” maka itu bukan cinta sejati. Itu adalah ilusi yang terbangun atas dasar keinginan dan harapan.

Untuk benar-benar mencintai, kita perlu melepaskan ekspektasi dan membiarkan cinta tumbuh dengan sendirinya. Cinta sejati adalah menerima seseorang apa adanya, tanpa harus mengubahnya sesuai keinginan kita. Cinta sejati adalah keberanian untuk memberikan, tanpa meminta balasan.

Kita sering lupa, cinta sejati tidak mencari kesempurnaan, melainkan menerima ketidaksempurnaan. Ia bukan tentang menemukan orang yang “tepat,” melainkan menjadi seseorang yang mencintai dengan tulus, apa adanya.

Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah cinta yang kita rasakan selama ini benar-benar cinta? Atau hanya sekadar fatamorgana yang dibentuk oleh ekspektasi kita sendiri? Mari kita renungkan. Cinta sejati tidak meminta kita untuk menilai, tetapi untuk merasakan.

Cinta sejati adalah ruang kosong yang diisi oleh kehadiran orang lain, tanpa harus dipenuhi oleh penilaian kita. Itu adalah rasa damai, rasa cukup, dan rasa bahagia, tanpa alasan yang harus dijelaskan.

Akhir Kata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun