Hah? Dua juta? Ku tarik nafas dalam-dalam. Semakin sesak. Serasa udara tidak mau masuk ke dalam rongga paru-paruku. Berat. Hak hidupku rasanya terenggut oleh apa yang harus aku penuhi di kemudian hari. Sudah cukup banyak jalan yang aku tempuh. Tapi ujung-ujung nya berakhir ke satu muara. Hutang.
"Abi, ayo! Kalo terlambat sampai ke kliniknya pak Mantri, bisa antri lama lho!" ucap istriku membangunkan lamunanku.
--
"Waduh aku gak ada uang, Bud. Kau tahu sendiri semua penghasilanku dipegang sama istriku," jelas Zanuar saat aku meminjam uangnya. Sebagai sesama guru honorer, nasib kami tidak jauh beda. Sehingga untuk menanyakan sekedar ada uang saja, aku sebenarnya sudah cukup malu. Zanuar lebih beruntung karena istrinya juga bekerja. Kedua penghasilan mereka bisa dimaksimalkan menghidupi keduanya dan kedua anak mereka.
"Aku juga tidak akan pinjam kamu jika ndak kepepet semacam ini, Zan," ucapku pasrah.
"Maaf ya Bud. Bukan aku tidak mau memberimu pinjaman. Terus terang aku banyak berhutang budi sama kamu. Kamu  yang membimbing aku sampai aku jadi guru sepertimu. Cuman...untuk urusan uang...," Zanuar menggelengkan kepala. Kerut dikeningnya membuatku benar-benar menghentikan niatku.
"Gak papa, Zan," senyumku memahaminya. Akupun meninggalkannya
Â
--
"Aku ora nduwe duwit le, utang e bojomu yo sik okeh nang kene. Aku lek barang ono, lek duwit sepurane yo" jelas Mak Pah dengan nada ketus.
Memang aku yang salah. Sudah istriku berhutang kebutuhan harian kami, eh aku masih juga pinjam uang kepadanya. Aku hanya bisa tertunduk lesu.