[caption id="attachment_244957" align="aligncenter" width="532" caption="Penanda Kamp Pengungsian"][/caption]
Pulau Galang, salah satu wilayah Kepulauan Riau, ternyata menyimpan cerita menarik. Di sini, beberapa puluh tahun lalu, tepatnya tahun 1975 hingga 1996 berdiri kamp pengungsian Vietnam yang menyeberang menjadi manusia perahu akibat perang saudara. Cerita heroik Rambo ala Amerika yang berperang melawan tentara Vietkong yang kejam, ternyata mendapatkan sisi lain di Pulau seberang pulau Bata erahu kayu, mengarungi Samudera luas untuk bisa sampai ke simi.
Kisah ini dimulai 19 Aprik 1975, saat pecah perang saudara di Vietnam. Perang yang berlangsung panjang pada akhirnya selalu menyebabkan kesengsaraan. Masyarakat umum yang sering tidak mengerti apa-apa akhirnya yang selalu menjadi korban. Untuk menyelamatkan diri, daripada bertahan di Vietnam.
Celakanya, Vietnam bukanlah negara dengan wilayah besar di mana orang bisa dengan leluasa bersembunyi. Mau tidak mau, pilihannya adalah keluar dari Vietnam. Dan yang mengerikan adalah pilihan paling memungkinkan keluar dari Vietnam adalah melalui laut, samudera yang ganas. Mau tidak mau, piluhan itulah yang harus diambil daripada mati konyol oleh tentara komunis vietkong yang sangat ganas.
[caption id="attachment_244958" align="aligncenter" width="532" caption="Manusia Perahu Vietnam"]
Jangan dibayangkan yang digunakan oleh para pengungsi itu adalah kapal-kapal besar yang siap melawan ombak dan badai samudera. Kapal yang mereka gunakan adalah kapal kayu kecil sebesar kira-kira satu buah bis besar. Satu kapal diisi sekitar 75 orang. Bayagkan betapa mereka berdesak-desakkan di dalam perahu kecil tersebut. Yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana bisa secepatnya keluar dari Vietnam.
[caption id="attachment_244959" align="aligncenter" width="532" caption="Berdesakan Dalam Perahu"]
Setelah kurang lebih selama satu bulan berlayar mengarungi Samudera, tibalah rombongan pertama dari manusia perahu Vietnam ini pulau Natuna di wilayah kepulauan Riau sekarang pada tanggal 21 Mei 1975. Mereka berjumlah 75 orang menumpang satu buah perahu kayu.
Menyusul setelah itu, gelombang para pengungsi Vietnam ini semakin lama semakin banyak hingg akhirnya menjadi permasalahan di beberapa negara tetangga Vietnam, yaitu Malaysia, Thailand dan Indonesia. Perserikatan Bangsa-Bangsapun kemudian turun tangan. Organisasi PBB yang mengurusi pengungsi UNHCR mengadakan rapat beberapa negara di Bangkok yang akhirnya menetapkan menjadikan satu pulau di Indonesia untuk dijadikan tempat pengungsian.
[caption id="attachment_244960" align="aligncenter" width="532" caption="Cerita Kamp Pengungsian itu Bisa Dilihat di Museum "]
Dipilihlah pulau Galang yang relatif masih kosong untuk dijadikan tempat pengungsian. Pulau Galang yang luasnya 250 ha itu kemudian diambil 80 ha untuk dijadikan kawasan pengungsiang. Manusia perahu Vietnam yang tersebar di beberapa kepulauan akhirnya disatukan di Pulau Galang. Dari hasil penyatuan di berbagai tempat itulah terkumpul hingga 250 ribu jiwa, sebuah jumlah yang sangat dahsyat besarnya.
[caption id="attachment_244962" align="aligncenter" width="532" caption="Replika Rumah Yang Didirikan Para Pengungsi Vietnam "]
Kawasan pengungsian ini lumayan lengkap. Selain fasilitas barak-barak pengungsian, terdapat juga rumah sakit, sekolahan, rumah ibadah berbagai agama secara lengkap, pemakaman umum, bahkan terdapat juga penjara bagi orang-orang yang melakukan kejahatan.
[caption id="attachment_244963" align="aligncenter" width="532" caption="Barak dan Penjara Pengungsian "]
Wilayah pengungsian ini dibuat eksklusif, tertutup bagi orang luar, kecuali fasilitas rumah sakit di mana masyarakat umum bisa menggunakan fasilitas tersebut secara gratis. Urusan keamanan diserahkan kepada pihak TNI Polri yang diawasi secara ketat oleh PBB.
Sebagai sebuah wilayah pengungsian, fasilitas yang ada termasuk lengkap. Sistem pengairan air bersih dibuat melalui pipa-pipa cukup besar dari mata air di luar pulau. Sistem kelistrikan juga baik, dilihat dari tiang-tiang listrik yang masih berdiri hingga sekarang.
Bagi para profesional seperti dokter, mereka langsung dilibatkan di rumah sakit, lebih tepat disebut klinik kesehatan. Mereka sedapat mungkin disalurkan sesuai keahlian. Sementara bagi yang tidak punya keahlian, diperbantukan untuk membangun rumah dan fasilitas pendukungnya.
Pertanyaannya kemudian, siapa yang mendanai itu semua? Indonesia tentu tidak sanggup ataupun tidak mau membiayai para pengungai yang jumlahnya mencapai 250 ribu orang tersebut. UNHCR yang akhirnya membiayai, tentu saja sumber dananya dari seluruh anggota PBB.
Seluruh biaya hidup orang-orang di pengungsian ini ditanggung UNHCR. Makan sehari-hari, pendidikan, hingga kesehatan dijamin oleh lembaga PBB ini. Pokoknya hidup mereka sangatlah enak karena tidak memikirkan kewajiban apapun. Semua sudah ditanggung.
Karena enak itulah, kamp pengungsian itu berjalan selama kurang lebih 16 tahun. Setelah perang berakhir pihak UNHCR berniat memulangkan mereka ke Vietnam. Namun ternyata tidak mudah. Para pengungsi yang ingin dipulangkan melakukan protes berbagai hal. Menurut cerita Pak Said, penjaga museum sekarang, mereka menenggelamkan perahu yang sudah dimiliki, bahkan beberapa orang melakukan bunuh diri.
[caption id="attachment_244964" align="aligncenter" width="532" caption="Mengarungi Lautan Luas dengan Perahu Kecil"]
Hingga sekarang, yang tersisa dari itu semua adalah museum dan bangunan tua yang tidak terawat dibiarkan rusak begitu saja. Nampak rongsokan mobil teronggok di berbagai pelataran bangunan. Satu bangkai motor Suzuki Chrystal tahun 1995 terlihat di depan museum.
[caption id="attachment_244965" align="aligncenter" width="532" caption="Motor Peninggalan Kamp Pengungsian "]
Wilayah penampungan pengungsi Vietnam di Pulau Galang Batam ini sebenarnya merupakan sejarah yang sangat menarik. Cerita tragis dan heroisme para manusia perahu ini sebenarnya bisa mengalahkan cerita Rambo ala Amerika yang mengambil setting dan tempat kejadian di Negara yang sama.
Sangat disayangkan memang, tempat eksotik yang sarat nilai sejarah itu nampaknya dibiarkan roboh satu per satu dengan sendirinya. Mudah-mudahan ada pihak yang mau tergerak melestarikan dan mengembangkan kawasan ini menjadi kawasan wisata sejarah yang sarat nilai-nilai kemanusiaan.
Salam Man Jadda Wajada Ngobrol lebih jauh? Follow me on Twitter @akbarzainudin www.manjaddawajada.biz
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H