Eggroll Ubi Ungu: oleh-oleh baru khas Jogja
Tugas manusia adalah bekerja keras, berusaha, dan berdoa. Hasilnya, biarlah Tuhan Yang Maha Kuasa mengaturnya. Janganlah manusia “memaksa” Tuhan memberikan kesuksesan pada dirinya, karena Tuhanlah yang Maha Pemaksa.
Saya menemukan pemaknaan baru dalam diri saya khususnya, tentang apa yang disebut ikhlas dan qanaah. Dua kata ini sebenarnya mantra sakti, tetapi terkadang menyandera diri sendiri. Saya menganggap menyandera diri sendiri, karena sebenarnya dua kata ini adalah kata aktif yang menuntut pergerakan luar biasa dari manusia, tetapi sering digunakan dengan tidak benar.
Secara bahasa, ikhlas kurang lebih berarti rela dan pasrah, sedangkan qanaah, berarti menerima dan berpuas terhadap apa yang ada. Kata rela dan menerima di sini, yang sering digunakan sebagai alasan untuk tidak berbuat apa-apa. Saat seseorang malas bekerja, alasannya adalah kita mesti ikhlas dan qana’ah dengan apa yang ada. Ngga usah terlalu “ngoyo”-ambisius dalam hidup. Biarlah kita ikhlas menerima keadaan ini, Tuhan sudah mengatur semuanya.
Padahal bukan begitu sebenarnya. Tidak disebut ikhlas dan qanaah kalau orang tidak berusaha dan bekerja apa-apa hanya sekadar mengharapkan belas kasih orang lain. Tidak pantas menyebutnya sebagai ikhlas dan qanaah, kalau belum berupaya. Saya malah menyebutnya tidak bertanggung jawab dan bersyukur atas apa yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya. Bagaimana mungkin ia mendapatkan rezeki yang banyak tanpa berusaha? Lebih buruk lagi, kalau ditegur, dengan gagahnya dia bilang, kita mesti ikhlas dan qanaah, sedangkan dia sendiri tidak berusaha apa-apa?
Saya menemukan pemaknaan baru tentang qanaah ini dari seorang pengusaha makanan asal Bantul, Jogja, Luthfi Yuniarto. Alumni Gontor tahun 1991 ini bertahun-tahun membanting tulang, berusaha di berbagai bidang, namun belum ada yang menemukan titik keberhasilan. Hampir semuanya bisa dibilang gagal dan tidak berkembang.
Bersama Luthfi Yuniarto: pengusaha EggRoll ubi ungu
Luthfi tidak berputus asa, apapun ia lakukan agar bisa terus menghidupi keluarganya. Beruntung, ia mempunyai istri yang setia, baik dalam suka maupun duka, Iffah. Didampinginya suaminya, sambil membantu dengan usaha membuat kue-kue kering, terutama pada saat lebaran. Hingga akhirnya, momentum itu tiba. Selesai Idul Fitri tahun 2010, Iffah dan Luthfi mulai berpikir bagaimana menciptakan satu kue baru yang belum ada sebelumnya.
Variasi pembuatan kue ini dirasa penting agar bisnis kue-kue ini tidak hanya rame menjelang lebaran, tetapi bisa menjadi sandaran hidup sepanjang tahun. Dan Iffah, yang tergabung dalam koperasi wanita di kelurahan, memang orang yang kreatif memasak. Setelah melihat-lihat berbagai kue yang mungkin dibuat, iapun mencoba membuat kue baru: Egg Roll. Egg Roll yang biasanya terbuat dari beras ketan atau tepung terigu, ia coba dengan bahan lain: Ubi Ungu.
Menemukan rasa dan adonan yang pas adalah tantangan pertama. Hari pertama mulai mencoba, rasa Ubi Eggrollnya tidak enak. Karena semuanya manual, Iffah harus mencoba lagi sesuatu yang baru. Gagal percobaan hari pertama. Hari kedua, rasa Egg Roll sudah mulai terasa lebih enak, tapi belum sesuai dengan keinginan Iffah. Begitu seterusnya hingga tujuh hari berturut-turut, rasa Egg Roll yang dihasilkan belum sesuai dengan apa yang diharapkan.