Mohon tunggu...
Akbar Restu Fauzi
Akbar Restu Fauzi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Negri Jendral Soedirman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Eksploitasi dan Konstruksi Media Terhadap Perempuan

11 Januari 2014   20:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:55 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pada masa orde baru media merupakan alat Pemerintah untuk mempertahankan status quo, hal ini bisa dilihat dari konten dan isi yang ada didalam media saat itu, dimana konten yang ada didalam media didominasi oleh informasi-informasi yang memberikan citra baik pada Pemerintah. Namun setelah Soeharto lengser dan masa orde baru berakhir, kebebasan media dapat dirahkan kembali, setelah sebelumnya direnggut oleh Pemerintah. Puncaknya adalah saat Pemerintah pasca masa orde baru mengeluarkan UU Pers No.40/1999 dan UU Penyiaran 32/2002 , yang menekankan pada kebebasan pers dan kebebasan bermedia, oleh karena itu Undang-undang ini  menjadi tonggak meningkatnya jumlah media di Indonesia..

Seiring berkembangnya media di Indonesia, ternyata menimbulkan permasalahan tersendiri, yaitu tentang kinerja media dalam memberikan informasi dan hiburan kepada masyarakat. Hal ini sangat disayangkan, karena ketika media mendapat kebebasan, kebebasan tersebut malah disalah gunakan, dan menimbulkan banyak anggapan bahwa kebebasan media sudah kebablasan. Kebebasan media yang sudah kebablasan ini, bisa dilihat dari konten yang media sajikan, dimana konten-konten tersebut hanya menyajikan hiburan yang tidak mendidik dan hanya mengejar rating semata.

Saat ini mayoritas media lebih mementingkan rating diatas segalanya, terlepas dari media tersebut memberikan informasi yang bermanfaat atau tidak kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan media sudah menjadi pasar yang potensial, guna mencari keuntungan bagi para kaum pemodal. Untuk meningkatkan rating media,  cara yang digunakan sungguh ironis, yaitu menjadikan perempuan sebagai objek untuk di eksploitasi. Hal ini sangatlah merugikan bagi perempuan, karena media merupakan faktor yang sangat dominan dalam membentuk opini didalam masyarakat.

Media tidak hanya cerminan realitas yang ada didalam masyarakat, namun media juga dapat membentuk realitas yang ada didalam masyarakat, khususnya media Televis. Hal ini dikarenakan televisi menggunakan ruang publik yang dengan sangat mudah dapat diakses oleh masyarakat. Televisi dapat dengan mudah membentuk realitas didalam masyarakat, dan masyarakat pun dapat dengan mudah pula terjebak didalam realitas yang dibuat ini. Dalam membuat realitas, saat ini media terkesan tidak peduli apakah realitas ini bermanfaat bagi masyarakat atau tidak, namun hanya mementingkan keindahan, agar masyarakat tertarik, hal ini dikarenakan media hanya mencari rating untuk meningkatkan profitnya. Dan guna memberikan keindahan pada realitas buatan tersebut, media menggunkan perempuan sebagai objek.

Menjadikan perempuan sebagai objek untuk membuat tayangan televisi menjadi menarik, sekali lagi merupakan hal yang sangat ironis. Ditengah banyaknya perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan keadilan gender, televisi yang seharusnya dapat menjadi salah satu aktor pendukung yang dominan untuk perjuangan kaum perempuan, namun malah menjadi aktor yang melanggengkan ketidakadilah gender sampai saat ini.

Kapitalisme yang telah masuk dalam roda pertelevisian Indonesia sangat berpengaruh pada konten yang dibawa televisi saat ini. Banyak sekali tayanganan televisi yang menggunakan perempuan untuk meningkatkan rating suatu acara, dan dalam banyak tayangan tersebut, yang ditonjolkan dari perempuan mayoritas hanya kecantikan dan keindahan tubuhnya. Hal ini sangat disayangkan, karena seolah-olah hanya hal tersebut yang bisa dijual dari perempuan untuk mendapatkan kepuasaan penonton. Dan tayangan seperti ini pun banyak dijumpai baik didalam acara kuis, sinetron, infotainment, tayangan tengah malam, dan bahkan sampai iklan yang ada disetiap jeda suatu tayangan televisi.

Di dalam acara kuis, sering kali kita lihat bahwa perempuanlah yang menjadi pembawa acaranya. Hal tersebut bukan dikarenakan perempuan lebih cerdas daripada laki-laki, namun lebih dikarenakan logika yang ada didalam televisi, yang menganggap perempuan lebih menarik dibandingkan laki-laki. Menarik disini pun lebih karena perempuan dianggap bisa menarik banyak penonton karena kecantikannya dan keindahan tubuhnya. Logika yang dibangun didalam televisi sungguh merendahkan perempuan, karena perempuan hanya dianggap sebagai objek yang menjual karena parasnya, bukan karena kecerdasannya. Namun memang inilah logika kapitalisme yang mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan paras perempuan yang dianggap menjual, tanpa memperdulikan dampak terhadap stigma perempuan didalam masyarakat. Dampak hal ini pun secara tidak langsung, mengkonstruk kesadaran masyarakat bahwa perempuan hanya menjual kecantikan dan keindahan tubuhnya.

Di dalam sinetron pun, perempuan mendapat dampak negatif yang sama seperti pada acara kuis, bahkan lebih banyak dibandingan acara kuis. Dalam sinetron, sering kali kita jumpai perempuan yang suka bergosip, lemah, manja, dan mata duitan. Hal seperti ini bisa kita jumpai di hampir setiap sinetron yang ada di Indonesia. Peran-peran perempuan yang seperti ini lah, yang mengkonstruk kesadaran masyarakat, bahwa perempuan memang sudah kodratnya memiliki sifat suka bergosip, lemah, manja, dan mata duitan, padahal sifat tersebut adalah konstruksi yang diciptakan oleh masyarakat terhadap perempuan. Secara tidak sadar, televisi telah menstereotip perempuan, dan banyak perempuan yang menganggap hal tersebut sebagai kewajaran, padahal dampaknya sangat besar terhadap perempuan.

Tidak hanya memberikan citra negatif terhadap perempuan, sinetron juga turut mengkonstruk perempuan untuk bersikap sesuai realitas yang dibuat oleh televisi. Hal ini lah yang menyebabkan banyak perempuan yang merasa sikapnya harus sesuai dengan realitas buatan, padahal didalam realitas buatan tersebut perspektif yang digunakan adalah perspektf patriarkis yang sangat menguntungkan laki-laki dan merugikan perempuan.

Bukan hanya itu, didalam sinetron pun terkadang tidak mementinkan jalan cerita yang baik untuk dikonsumsi oleh masyarakat, namun lebih mementingkan apakah jalan ceritanya sesuai dengan tren yang ada dimasyarakat. Meskipun jalan cerita sesuai dengan tren yang ada dimasyarakat, tapi jalan cerita tidak bagus, perempuan adalah objek untuk menyiasatinya. Selama perempuan untuk bisa menarik perhatian penonton, maka tidak peduli jalan cerita sinetron baik atau tidak, maka acara tersebut akan dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini sangat ironis, melihat perempuan hanya dijadikan objek untuk menarik perhatian penonton.

Selain sinetron, infotainment pun secara tidak langsung memberi stereotip negatif terhadap perempuan. Infotainment adalah program televisi yang menggabungkan istilah information dan entertaiment, program ini memberikan informasi yang menjual tentang sisi pribadi public figure, orang-orang populer, dan selebritas. Terkadang informasi yang diberikan oleh infotainmet sendiri terkesa dilebih-lebihkan dan masyarakat lebih menganggap infotainment sebagai acara gosip semata. Didalam infotainment mayoritas pembawa acanya adalah perempuan, hal ini memberi kesan, seolah perempuan adalah makhluk yang suka bergosip, selain itu perempuan yang dipilih pun harus mempunyai nilai jual seperti kecantikan dan tubuh yang indah. Hal ini sangatlah disayangkan, selalu yang ditonjolkan oleh televisi adalah paras perempuan bukan kecerdasannya.

Tayangan televisi yang paling bias gender adalah tayangan lewat jam malam, yang di istilahkan sebagai jam tidur media televisi Indonesia. Logika yang dibangun didalam televisi adalah, jam malam merupakan jam penonton dewasa, dan penonton dewasa perlu diberikan hiburan yang sensasional.

Seks ibarat manta yang manjur untuk hiburan yang sensasional, baik itu dikemas dalam talk-show, laporan khusus, dan sinetron komedi. Dalam talk-show sering sekali kita jumpai, perempuan hanya sebagai pelayan didalam acara tersebut, selain menjadi pelayan, di banyak talk-show perempuan sering sekali menggunakan pakaian yang ketat dan seksi. Hal ini dimaksudkan untuk menarik perhatian penonton dewasa agar mau menonton acara tereebut untuk waktu yang lama.

Di dalam laporan khusus pada tayangan lewat jam malam, perempuan menjadi objek yang dieksploitasi tubuh dan kecantikannya. Sebagai contoh bisa diambil tayangan “Mata Lelaki”, dimana tayangan ini sangat mengeksploitasi tubuh perempuan, terutama bagian paha dan dada. Hal ini sungguh sangat merendahkan perempuan. Seolah-olah perempuan merupakan pemuas nafsu laki-laki dewasa dengan keindahan tubuhnya. Tayangan ini meskipun sudah mendapat teguran dari KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), namun tetap tidak mengubah secara drastis, dalam mengeksploitasi tubuh perempuan. Selain acara ini, banyak pula acara laporan khusus tengah malam yang mengeksploitsasi perempuan. Acara-acara seperti ini, secara tidak sadar telah menstereotip kan perempuan, sehingga memunculkan stigma negatif terhadap perempuan.

Di dalam sinetron komedi tengah malam bahkan lebih ironis lagi, bukan hanya mengeksploitasi tubuh perempuan, lawakan yang dipakai pun melecehkan perempuan. Materi leluconnya lebih menunjukan pelecehan seksual dari sudut laki-laki atas perempuan. Ditambah lagi, setting sosial acara ini adalah masyarakat kelas bawah. Seolah-olah memang begitulah masyarakat Indonesia. Padahal ini jelas sekai adalah konstruksi media televisi yang memiliki tujuan untuk mencari rating semata, tanpa mempedulikan dampaknya terhadap masyarakat, khususnya perempuan.

Ironisnya, saat ini bukan hanya tayangan tengah malam saja yang mengeksploitasi tubuh perempuan, hampir semua tayangan televisi dewasa ini menampilkan tubuh perempuan secara eksploitatif. Kostum perempuan dibanyak tayangan televisi, menggunakan rok mini, baju ketat, t-shirt, atau baju lengan pendek yang ketat, sehingga memungkinkan lekukan tuuh perempuan menjadi sangat kentara. Apalagi, jika selera produser dan sutradara sama, yakni perempuan yang memiliki lekuk tubuh yang indah. Belum lagi posisi duduk pemain perempuan dan angle kamera memang di-set untuk menonjolkan pemandangan itu.

Melihat konstruksi media televisi saat ini terhadap stigma perempuan memang sungguh ironis. Hal ini sekali lagi karena logika kapitalisme yang bermain di media televisi, dimana stasiun televisi seperti berlomba untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan cara menomor satu kan rating diatas segalanya, tanpa peduli informasi apa yang diberikan dan apa dampak yang akan dirasakan masyarakat, terutama perempuan.

Tidak hanya tayangan yang ada didalam televisi saja yang memberi dampak negatif terhadap perempuan, iklan pun turut serta juga dalam mengkonstruksi stigma perempuan, lebih dari itu, iklan pun turut mengkonstruk bagaimana seharusnya perempuan ideal. Iklan bisa di ibaratkan sebagai kue untuk tayangan-tayangan televisi yang memiliki rating tinggi. Dimana tayangan-tayangan televisi yang ada di atas tadi, untuk mendapatkan rating yang tinggi, dengan cara mengeksploitasi kecantikan dan tubuh perempuan.

Didalam iklan kosmetik sering kita jumpai, bagaimana seharusnya perempuan menjadi cantik, yaitu dengan menjadi putih, berambut hitam lebat, dan berbadan langsing. Padahal kecantikan adalah relatif, namun dengan adanya iklan-iklan kosmetik membuat cantik itu adalah berkulit putih, berambut hitam lebat, dan berbadan langsing. Kecantikan-kecantikan yang ada pada iklan sebenarnya merupakan hasil dari produk-produk yang mereka tawarkan, dan ironisnya perempuan seolah harus mengikuti kecantikan yang dibentuk oleh iklan.

Didalam iklan pun sering terjadi konstruksi, bahwa perempuan bekerja dibidang dosmetik saja, seperti memasak, mengasuh anak, mencuci, dan mengurus keluarga. Hal ini mencerminkan bahwa memang bidang pekerjaan perempuan memang dibidang dosmetik, padahal hal seperti ini adalah konstruksi dari budaya patriarkhi yang ada didalam masyarakat. Dengan adanya iklan-iklan seperti ini, maka konstruksi yang telah ada didalam masyarakat seolah-olah dilanggengkan. Dan hal ini akan berdampak pada pola pikir masyarakat baik itu laki-laki maupun perempuan.

Iklan pun turut serta dalam mengkonstruk stigma konsumerisme perempuan, dimana sering dijumpai iklan-iklan yang menunjukan adanya potongan harga pada produk tertentu, maka selalu perempuan yang ditunjukan berebut untuk membeli barang yang sedang mendapat potongan tersebut. Bukan hanya membentuk stigma saja, didalam hal ini pun iklan juga membentuk kesadaran perempuan untuk bersifat konsumtif. Dan hal ini berdampak kuat pada perempuan dewasa ini. Dan yang lebih ironis, didalam iklan buka nilai guna barang lagi yang ditunjukan tetapi lebih pada nilai tanda dari barang tersebut.

Melihat fenomena yang terjadi pada televisi Indonesia, maka bisa ditarik benang merah, bahwa konstruksi yang dilakukan terus menerus oleh televisi akan membuat masyarakat berfikir bahwa memang seperti itulah realita yang ada dimasyarakat, terlepas dari itu benar atau salah. Jika dilihat melalui teori konstruksi sosial Peter L. Berger, maka ini merupakan proses sosial internalisasi. Dimana pada tahap ini individu secara langsung menafsirkan peristiwa yang terjadi untuk mengungkapkan makna, Berger menyatakan individu mengidentifikasi diri dengan lembaga sosial dan realitas sosial yang ada disekitarnya. Salah satu aktor yang berperan dalam menginternalisasikan makna kepada individu maupun masyarakat, adalah televisi. Dimana televisi terus menerus menginternalisasikan makna yang ada didalam tayangannya maupun iklannya, sehingga makna-makna ini di identifikasi dan di tiru oleh inividu maupun masyarakat.

Di lihat dari teori Fakta Sosial yang merupakan pemikiran Emile Durkheim, tayangan-tayangan yang ada ditelevisi turut serta dalam mengkonstruk perempuan. Dimana perempuan secara tidak sadar meniru peran dari perempuan lain yang ada didalam realitas buatan televisi. Padahal jika di kritisi, realitas yang ada di televisi adalah realitas buatan dengan perspektif patriarkhi, yang merugikan perempuan. Selain itu didalam iklan televisi pun banyak sekali tekanan yang diterima perempuan, kecantikan yang merupakan konstruksi dari iklan juga menekan para permpuan untuk mengikuti standar cantik yang ada di televisi.

Melihat iklan yang merupakan cucu dari kapitalisme melalui perspektif Jean Baudrillard, maka iklan saat ini sudah tidak lagi mementingkan nilai guna lagi, iklan lebih menjual nilai tanda dari produknya, hal ini pun turut serta mengkonstruk pola pikir masyarakat pada umumnya, dan menyebabkan budaya konsumtif didalam masyarakat tumbuh. Hal ini sangatlah berbahaya bagi perempuan, karena pola pikir yang telah dikonstruk oleh televisi, menyebabkan perempuanlah yang menjadi target bagi budaya konsumtif ini.

Budaya konsumtif yang mementingkan nilai tanda inilah yang menjadi target dari logika kapitalisme media. Sebagai contoh jika didalam tayangan televisi, para artis menggunakan pakaian bermerk yang berharga mahal, dan merk pakaian itu mengiklan didalan tayangan tersebut, maka masyarkat akan mengkonsumsi pakaian dengan merk yang sama, yang digunakan oleh artis idola mereka, tanpa peduli pakaian itu mahal atau murah, hal ini dikarenakan nilai tanda yang ditawarkan oleh artis yang menggunakan pakaian itu lebih tinggi daripada pakaian lain. Dan target dari budaya konsumtif ini lebih kepada perempuan, karena perempuan telah di konstruk sedemikian rupa supaya pola pikirnya memiliki perspektif konsumtif.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun