Tahun 1945 adalah tahun dimana terjadinya ledakan nuklir pertama dan terdahsyat yang pernah ada sepanjang sejarah manusia. Peristiwa tersebut adalah pengeboman Kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang. Senjata Nuklir yang meledak di Kota Hiroshima dan Nagasaki memiliki nama Fat Man dan Little Boy. Peristiwa tersebut menggemparkan dunia dikarenakan dampak kerusakan yang ditimbulkan dan jumlah korban jiwa amat luar biasa. Menurut laporan peristiwa tersebut memakan korban sejumlah 140.000 korban jiwa di Kota Hiroshima dan 70.000 korban jiwa di Kota Nagasaki akibat radiasi berkelanjutan (Sugiyama, 2020). Selain itu, peristiwa tersebut juga meninggalkan rasa traumatik dalam sistem geopolitik internasional hingga saat ini. Kenyataan tersebut sejalan dengan pandangan Bung Hatta bahwa senjata nuklir bukanlah sebuah solusi, melainkan ancaman yang harus dihindari dalam mewujudkan perdamaian Internasional. Seperti halnya saat ini, adanya ketegangan geopolitik dan ancaman nuklir yang ada di daerah Asia bagian timur tepatnya di Semenanjung Korea yang amat meresahkan jagad Internasional khususnya negara-negara tetangga yang berdekatan dengan Semenanjung Korea.
       Dalam teori Mutual Assured Destruction (MAD) menyatakan bahwa penggunaan nuklir secara sepihak akan memicu serangan balik, sehingga menciptakan kebuntuan,  dan mencegah perang nuklir sesungguhnya. Teori ini juga didukung oleh pendapat ahli nuklir yaitu Thomas Schelling yang menyatakan pendapatnya bahwa Nuklir bukan untuk digunakan dalam perang, tetapi untuk mencegah perang. Daya ancamannya terletak pada kemampuannya yang tidak boleh digunakan (Schelling, 1966). Mirisnya, penggunaan senjata nuklir tidak selalu dalam bentuk penggunaan yang bijaksana. Seorang ahli keamanan nuklir Graham Allison mengingatkan bahwa "Risiko terbesar bukanlah perang nuklir yang disengaja, tetapi nuklir yang jatuh ke tangan yang salah atau insiden kecelakaan yang tak terduga" (Allison, 2004). Jika pendapat Allison ditafsirkan, kegagalan pengelolaan nuklir itulah yang dapat mengganggu stabilitas perdamaian global. Dalam konteks mengantisipasi dampak anomali risiko nuklir tersebut, penting adanya sebuah inovasi pengembangan teknologi yang dapat mendeteksi adanya gelombang radiasi nuklir sekecil apapun itu supaya dapat dilakukan tindakan lebih lanjut sesegera mungkin. Dalam esai ini, penulis menuangkan inovasi tersebut yang bernama BIDADARI SENJA, yang merupakan akronim dari BioDrone Pendeteksi dan Antisipasi Dampak Anomali Risiko Nuklir di Semenanjung Korea.Â
       BioDrone diambil dari kata Biology Drone yang merupakan teknologi robotik yang dapat mendeteksi reaksi ionisasi nuklir yang merujuk pada bentuk makhluk hidup tertentu seperti ikan sebagai bentuk optimalisasi pergerakan dalam beroperasi di lingkungan laut. Inovasi BioDrone ini menyamarkan aktivitas pemantauan di perairan terbuka, sehingga efisiensinya jelas lebih tinggi dibandingkan Drone biasa pada umumnya yang lebih mudah terlihat dan rentan terdeteksi. Wang (2002) berpendapat bahwa pengawasan bawah laut dalam penggunaan perangkat desain biomimetik tidak hanya meningkatkan kemampuan navigasi dan penyamaran, tetapi juga memperpanjang masa operasi keperluan energi yang lebih sedikit. Dalam pengaplikasiannya, BioDrone dilengkapi dengan Thermoluminescent Dosimeter (TLD) yang dapat mengukur dosis akumulatif radiasi selama periode tertentu.
      Mekanisme penggunaan teknologi canggih BioDrone dalam pendeteksian dan antisipasi dampak anomali risiko nuklir menggunakan sinyal berjenjang seperti halnya seismograf dan kamera termal yang memberikan sinyal berjenjang yaitu siaga, waspada, dan awas pada peristiwa erupsi vulkanik. Dengan adanya sinyal dan data yang terdeteksi oleh BioDrone maka pemerintah negara terdekat dengan Semenanjung Korea, negara-negara tetangga Korea Selatan dan Korea Utara, serta Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency) dapat melakukan tindakan preventif yang cepat, tepat, dan akurat berdasarkan tingkatan ancaman yang terdeteksi serta data yang diperoleh dapat dijadikan tolak ukur dalam kebijakan mitigasi lebih lanjut.
      Beberapa kategori sinyal diantaranya sinyal siaga, waspada, dan awas. Sinyal siaga menunjukkan bahwa tingkat radiasi dan ionisasi masih rendah dan dibawah ambang batas berbahaya. Data yang diperoleh dapat digunakan oleh otoritas untuk melakukan monitoring lebih intensif dan memberikan peringatan pada masyarakat. Jika terdeteksi adanya peningkatan intensitas kadar radiasi yang dapat membahayakan lingkungan dan manusia, maka BioDrone akan mengirimkan sinyal waspada. Dalam tahap ini, mitigasi yang tepat adalah pembatasan akses ke wilayah terdampak dan pemantauan intensif berkelanjutan sebagai bentuk kewaspadaan tinggi. Apabila radiasi yang terdeteksi semakin meningkat bahkan mencapai kategori tinggi dan membahayakan keselamatan global maka BioDrone akan mengirimkan sinyal darurat awas ke otoritas terkait seperti Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency) supaya dapat membuat regulasi terkait penutupan sumber radiasi nuklir dan wilayah terdampak serta melakukan evakuasi.
       Dalam pengoperasiannya, perlu adanya regulasi khusus guna menghindari pelanggaran hukum dalam menjaga ketertiban dan keamanan global. Dengan mempertimbangkan ketegangan geopolitik di kawasan Asia Timur tepatnya di Semenanjung Korea, implementasi BioDrone harus disertai dengan protokol yang jelas dan terperinci agar tidak mengganggu kedaulatan negara lain atau ketidakstabiloan regional (Marbun, 2019). Sehingga dalam pengoperasiannya, BioDrone harus mempertimbangkan Konvensi Hukum Laut Internasional atau yang dikenal dengan UNCLOS ( United Nation Convention Law Of Sea ) yang mengatur tentang Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (Siregar, 2021). Misalnya, dalam pengoperasian BioDrone milik Indonesia tidak boleh memasuki wilayah perairan negara Jepang, Korea Selatan, dan Korea Utara. Namun, BioDrone milik Indonesia bisa beroperasi di laut bebas yang dekat dengan wilayah perairan negara Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, dan Semenanjung Korea. Pentingnya menjaga daerah pengoperasian BioDrone di laut bebas menjadi alasan strategis dalam pengoperasiannya tanpa menimbulkan konflik baru dan tetap menjaga stabilitas perdamaian global. Laut bebas menyediakan ruang yang lebih luas dalam pengawasan nuklir tanpa mengganggu kedaulatan negara (Maulana, 2021).Â
       Namun dibalik efisiensi dari inovasi teknologi BioDrone, tidak terlepas begitu saja dari tantangan yang harus dihadapi. Baik tantangan dari segi diplomatik dan teknis. Dalam tantangan diplomatik, sedikit kesalahan dalam pengoperasian BioDrone di Semenanjung Korea dapat memicu ketegangan politik dan militer yang sensitif di wilayah tersebut. Maka dari itu, perlu adanya komunikasi diplomatik antarnegara untuk menghindari konfrontasi tersebut dan melibatkan Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency) dalam pengawasan pengoperasiannya. Aspek lingkungan juga tidak bisa dikesampingkan dalam pengoperasian BioDrone. Meskipun teknologi BioDrone ini dirancang ramah lingkungan dengan bentuk yang mirip makhluk laut, tidak menutup kemungkinan adanya biota laut yang merasa terganggu dengan adanya aktivitas BioDrone. Penelitian dan pengembangan lebih lanjut terhadap dampak teknologi terhadap ekosistem laut sangat diperlukan, dengan langkah-langkah mitigasi yang jelas guna mengurangi dampak negatif terhadap ekosistem laut (Lestari, 2021). Dalam tantangan dari segi teknis, hal yang dihadapi oleh BioDrone adalah lingkungan laut itu sendiri. Keadaan lautan yang dinamis dengan cuaca dan arus yang berubah-ubah setiap saat dapat memengaruhi performa BioDrone dalam beroperasi. Namun hal ini dapat diantisipasi melalui rancangan BioDrone yang mirip seperti bentuk asli makhluk laut yang dapat beradaptasi dengan lingkungan laut pada umumnya sehingga efisiensi energi dan navigasi pendeteksian dapat dilakukan secara optimal. Selain itu, teknologi ini juga memerlukan infrastruktur dan Sumber Daya Manusia yang memadai guna memastikan perngoperasian berjalan dengan lancar.
      Inovasi BIDADARI SENJA menawarkan kecanggihan dalam menghadapi ancaman nuklir di Semenanjung Korea yang secara terus menerus menghantui stabilitas perdamaian global. Keunggulannya dalam mendeteksi radiasi nuklir secara real-time dan pengoperasiannya yang ramah lingkungan, serta data akurat yang dikirimkan ke otoritas terkait dapat menjadi tolak ukur dalam mengambil tindakan preventif yang cepat dan tepat dalam menanggulangi potensi ancaman nuklir. Namun, kesuksesan dan keberhasilan dari implementasi BioDrone tidak terlepas dari komunikasi diplomatik yang terarah, regulasi Internasional yang jelas, serta didukung oleh infrastruktur dan Sumber Daya Manusia yang memadai. Penting juga adanya kolaborasi Internasioal dalam proses pengembangan inovasi ini kedepannya. Dengan demikian, BioDrone tidak hanya menjadi inovasi yang dapat mendeteksi nuklir. Namun juga sebagai bentuk inovasi dalam menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian internasional, serta menjadi simbol dari kolaborasi Internasional dalam menjaga perdamaian dunia dan keberlangsungan kehidupan manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H