Pada tahun 1973, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Resolusi Nomor 3067 mendorong negara-negara untuk mengadakan Konferensi Hukum Laut Internasional di Caracas, Venezuela, pada tahun yang sama. Konferensi ini dilanjutkan di New York dan Jenewa, dan akhirnya menghasilkan naskah final yang ditandatangani dalam Konferensi di Montego Bay, Jamaika, pada 10 Desember 1982. Konferensi tersebut menjadi momen bersejarah bagi PBB, menghasilkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut, yang dikenal sebagai United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. UNCLOS 1982 terdiri dari 17 bab, 320 pasal, dan 9 lampiran, yang menandai pencapaian penting bagi masyarakat Internasional dan menjadi kerangka kerja yang luas untuk mengatur hampir semua aktivitas laut. (Achmad Fahrudin et al., 2018).
Bersasarkan prinsip dasar hukum, Pasal 137 UNCLOS 1982 secara jelas menetapkan status hukum kawasan dasar laut Internasional menjadi tiga poin utama. Pertama, negara mana pun tidak diizinkan untuk mengklaim kedaulatan atau hak-hak berdaulat atas bagian apapun dari kawasan atau kekayaannya, dan tidak ada badan hukum atau individu yang boleh melakukan tindakan kepemilikan terhadap bagian dari kawasan tersebut. Tuntutan kedaulatan atau hak-hak berdaulat, serta tindakan kepemilikan semacam itu, tidak akan diakui. Kedua, segala hak terhadap kekayaan di kawasan menjadi milik umat manusia secara keseluruhan, yang diwakili oleh Otoritas. Kekayaan-kekayaan ini tidak dapat dialihkan kepemilikannya, kecuali dengan ketentuan yang ditetapkan dalam bab ini dan peraturan otoritas. Ketiga, tidak ada negara, badan hukum, atau individu yang dapat mengklaim, memperoleh, atau melaksanakan hak-hak terkait dengan mineral yang dihasilkan dari kawasan, kecuali sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam bab ini. Jika tidak sesuai dengan ketentuan ini, tuntutan, perolehan, atau pelaksanaan hak-hak semacam itu tidak akan diakui (Bagus et al., 2018)
Regulasi pengelolaan sumber daya dasar laut dalam UNCLOS 1982 lebih fokus pada pengaturan di wilayah di luar yurisdiksi negara. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan dalam ruang lingkup pengaturan sumber daya dasar laut di bawah yurisdiksi negara, seperti laut teritorial, perairan pedalaman, dan perairan kepulauan, yang merupakan bagian dari wilayah kedaulatan negara dan diatur dalam kerangka hukum laut teritorial dan perairan kepulauan yang seragam (Bagus et al., 2018)
Kerjasama Internasional dalam pelestarian dan pengelolaan sumber daya laut yang terbatas, seperti perikanan yang berkelanjutan, menjadi semakin penting di era globalisasi saat ini. Sumber daya laut merupakan aset yang sangat berharga dalam keberlangsungan hidup manusia dan ekosistem laut secara keseluruhan. Namun, tekanan eksploitasi yang berlebihan dan perubahan iklim telah mengancam keberlanjutan sumber daya laut, memerlukan tanggapan yang bersifat lintas batas dan kolaboratif dari komunitas Internasional. Kerjasama Internasional dalam pelestarian sumber daya laut terbatas adalah hal yang sangat penting terutama terkait dengan dua aspek utama yaitu  sifat transnasional dari sumber daya laut, dan kompleksitas tantangan yang dihadapi dalam pengelolaannya. Eksploitasi  yang berlebihan di satu wilayah dapat berdampak negatif pada populasi ikan di wilayah lainnya hal ini dikarenakan perairan laut tidak mengenal batas-batas negara. Maka dari itu, kerjasama lintas batas menjadi kunci dalam mengembangkan kebijakan dan praktik pengelolaan sumber daya laut yang efektif.
Menurut Setyorini, et al., (2022), kedaulatan maritim menjadi isu penting bagi negara-negara ASEAN yang terletak di kawasan strategis dengan jalur perdagangan laut yang vital. Evaluasi kedaulatan maritim melalui aliansi pertahanan ASEAN dapat dilihat dari berbagai perspektif, termasuk keamanan, ekonomi, dan diplomasi. Negara-negara ASEAN menghadapi tantangan yang sama, seperti perompakan, ilegal fishing, dan klaim teritorial yang tumpang tindih di Laut Cina Selatan. Dalam menghadapi tantangan ini, kolaborasi melalui aliansi pertahanan ASEAN menjadi krusial untuk menjaga stabilitas kawasan dan memastikan bahwa hak-hak maritim setiap negara anggota diakui dan dihormati. Sistem pertahanan yang efektif dan fungsional dalam konteks sistem adalah suatu mekanisme yang secara mendasar berfungsi untuk memperkuat dan meneguhkan posisi suatu negara dalam kancah global. Sistem ini menjadi alat kebijakan luar negeri, kebijakan keamanan nasional, serta bagian dari sistem pencegahan krisis. Dengan keberadaannya, hubungan Internasional menjadi lebih stabil, keberlanjutan dan transparansi meningkat, serta risiko konflik bersenjata dapat diminimalkan.
Evaluasi kedaulatan maritim melalui aliansi pertahanan ASEAN menyoroti pentingnya kerjasama regional dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks. Indonesia, sebagai negara yang berperan aktif dalam kawasan Indo-Pasifik, menginisiasi ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) sebagai strategi diplomasi pertahanan untuk memastikan stabilitas dan keamanan maritim. Konsepsi AOIP berfokus pada inklusivitas dan habit of dialogue, yang bertujuan untuk membangun sistem regional yang damai dan bebas. Hal ini juga mencakup kerjasama pertahanan dengan mitra dialog ASEAN untuk mengelola ancaman keamanan maritim yang terus berkembang. Dalam pelaksanaan AOIP, Indonesia berhasil mendapatkan dukungan dari negara-negara ASEAN, yang menunjukkan keberhasilan diplomasi Indonesia dalam mengusulkan pandangan strategis untuk kawasan. Implementasi AOIP mencakup berbagai kerjasama pertahanan, baik militer maupun nirmiliter, untuk memperkuat stabilitas kawasan. Keberhasilan ini penting bagi Indonesia karena memperkuat peran sentral ASEAN dalam menjaga perdamaian dan keamanan regional. Tantangan besar tetap ada, terutama terkait dengan perebutan kekuasaan dan sengketa batas wilayah yang dapat mengancam stabilitas (Maulana, 2021).
Penulis memerhatikan ada beberapa hal yang harus diperhatikan guna menegakkan kedaulatan dan menjaga stabilitas geopolitik di Laut Cina Selatan, antara lain kerjasama maritim yang adaptif dan kolaboratif perlu dikembangkan supaya menjadi kunci dalam merespons dinamika geopolitik yang senantiasa berubah-ubah di wilayah tersebut. Dalam konteks ini, perlu adanya peningkatan kerjasama dengan negara-negara ASEAN dan mitra strategis lainnya untuk menghadapi tantangan bersama. Kedua, memperkuat kapasitas patroli maritim (Coast Guard)Â dengan menggunakan kapal-kapal modern dan teknologi canggih yang menjadi esensial untuk meningkatkan pengawasan laut dan mengatasi ancaman potensial. Selanjutnya fleksibilitas strategi maritim yang diimplementasikan menjadi sebuah keharusan dalam menghadapi berbagi skenario yang mungkin terjadi di Laut Cina Selatan. Dalam ranah inovasi, optimalisasi pemanfaatan teknologi maritim terkini seperti Unmanned Surface Vehicles (USV) dan Unmanned Aerial Vehicles (UAV) menjadi sebuah langkah maju dalam meningkatkan kemampuan patroli dan surveillance. Selain itu, pengembangan doktrin maritim inovatif juga menjadi prioritas dalam optimalisasi penggunaan kekuatan maritim dalam menegakkan kedaulatan kedaulatan di wilayah tersebut. Pembangunan kerjasama riset dan pengembangan maritim dengan negara-negara ASEAN dan mitra strategis lainnya menjadi hal penting yang tidak bisa dikesampingkan dalam menghadapi tantangan teknologi yang terus berkembang. Dengan penggabungan politis dan ilmiah, langkah-langkah ini akan memperkuat posisi dan keberadaan Indonesia dalam menjaga stabilitas geopolitik dan keamanan di Laut Cina Selatan.
Dalam esai ini, penulis mengusulkan sebuah strategi yang cermat dan terperinci dalam menghadapi tantangan kompleks di wilayah Laut Cina Selatan. Dalam upaya memperkuat stabilitas regional dan mengedepankan perdamaian, dialog dan diplomasi maritim menjadi landasan utama yang ditekankan. Sejalan dengan pendekatan ini, peningkatan interaksi dengan negara-negara ASEAN, Tiongkok, dan pihak-pihak terkait lainnya adalah suatu keharusan yang tak terhindarkan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kajian oleh Dr. Zhang Baohui, seorang ahli hubungan Internasional dari Universitas Hong Kong, dalam tulisannya yang diterbitkan di jurnal Maritime Affairs, "Interaksi yang lebih intensif antara negara-negara yang terlibat dalam sengketa maritim di Laut Cina Selatan diperlukan untuk membangun kepercayaan dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penyelesaian damai." Dalam konteks ini, langkah-langkah konkret seperti memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif di kawasan ASEAN, terutama melalui implementasi Code of Conduct for the South China Sea (COC), menjadi imperatif yang tidak dapat diabaikan.
Namun demikian, pendekatan ini bukanlah satu-satunya aspek yang harus diperhatikan. Aspek pertahanan juga menjadi fokus utama dalam memastikan keamanan maritim di wilayah tersebut. Dalam sebuah laporan terbaru yang diterbitkan oleh Institute for Defense Analyses (IDA), disebutkan bahwa "peningkatan kapasitas pertahanan, terutama melalui peningkatan anggaran riset dan pengembangan untuk mendukung teknologi pertahanan maritim, akan menjadi langkah krusial dalam memastikan kedaulatan dan keamanan nasional." Oleh karena itu, langkah-langkah seperti memperkuat kerjasama dengan industri pertahanan lokal dan Internasional serta pembangunan sumber daya manusia yang unggul dalam bidang pertahanan maritim akan menjadi investasi jangka panjang yang strategis.
Dengan demikian, pendekatan yang holistik yang mencakup baik upaya diplomasi maupun penguatan pertahanan menjadi pilar utama dalam mengatasi tantangan kompleks di wilayah Laut Cina Selatan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Profesor John Mearsheimer dalam bukunya yang berjudul "The Tragedy of Great Power Politics", "Hanya melalui kombinasi kekuatan militer dan diplomasi yang bijaksana, suatu negara dapat mencapai tujuan-tujuan strategisnya dalam lingkungan Internasional yang penuh dengan ketidakpastian."
Oleh karena itu, langkah-langkah yang diusulkan di atas menandai sebuah paradigma strategis yang komprehensif dan terkendali dalam menjaga stabilitas dan perdamaian di wilayah yang memegang peranan sentral dalam dinamika geopolitik global. langkah-langkah yang diusulkan di atas bukanlah semata-mata sebuah rencana aksi, tetapi juga sebuah pernyataan komitmen politik dan ilmiah terhadap perdamaian dan stabilitas di wilayah yang memegang posisi sentral dalam dinamika global. Dengan pendekatan yang holistik dan terpadu, diikuti dengan pelaksanaan yang gigih dan kolaboratif, hanya dengan cara itu kita dapat membangun fondasi yang kokoh untuk masa depan laut yang lebih aman dan sejahtera bagi semua pihak yang terlibat.