Indonesia saat ini tidak hanya sekadar diserang virus covid-19, tetapi juga isu kebijakan new normal. New normal sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk perubahan kehidupan dengan perilaku baru di tengah pandemi covid-19. Hal ini merupakan gambaran kecil saja bahwasanya dunia akan selalu mengalami perubahan.
Kebijakan new normal dibuat untuk menghidupkan kembali aktivitas masyarakat terutama pada bidang perekonomian dengan membuat protokol kesehatan. Tujuan dari pembuatan protokol kesehatan ini untuk memberikan tata cara bekerja dengan menekan penyebaran virus covid-19. Keberadaan itu mengakibatkan pemerintah harus menggodok dengan tepat aturan kerja baru.
Adanya kondisi new normal sendiri membuat sebuah peluang untuk bekerja seperti semula. Dampaknya juga mulai dirasakan pada ranah pendidikan, di mana ada keputusan yang menetapkan bahwa tahun ajaran baru 2020/2021 dilaksanakan bulan Juli (Hikmia & Safutra, 2020). Keputusan tersebut sebenarnya menimbulkan sebuah rasa khawatir di masyarakat dengan alasan kasus penyebaran covid-19 masih belum mengalami penurunan. Bisa dikatakan bahwa Indonesia masih memiliki tren jumlah positif covid-19 di angka peningkatan setiap harinya.Pengambilan penetapan tahun ajaran baru 2020/2021 sebenarnya mengalami suatu permasalahan berupa kontradiksi utama dan sampingan (Suseno, 2013).Â
Kontradiksi sampingan dilihat dari adanya keadaan tidak selaras perihal keinginan antara Kemendikbud dengan masyarakat. Kemudian terdapat kontradiksi utama terlihat dari perbedaan pendapat kemendikbud dengan IGI (Ikatan Guru Indonesia). IGI menginginkan putusan tahun ajaran baru bisa mengalami pengunduran sampai Januari 2021 (Suharno, 2020).
Rasa perbedaan itu muncul diakibatkan dari adanya segi orientasi yang berbeda di mana IGI lebih menekan dalam hal penguatan kompetensi guru dengan mengundur ajaran baru (Suharno, 2020). Bersebrangan dengan IGI, Kemendikbud lebih mengarah pada dua poin penting.Â
Pertama, melihat dalam hal sinkronisasi kalender pendidikan dengan beragam agenda pendidikan sudah ditetapkan sebelumnya seperti PPBD. Kedua, menurut  pernyataan dari Plt. Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad bahwa sistem pembelajaran bisa dilakukan dengan belajar dari rumah atau membuka sekolah kembali dengan syarat tertentu (Harususilo, 2020).
Terjadinya perbedaan kepentingan saat mengambil keputusan tahun ajaran baru mengindikasikan sebuah tata cara  yang tidak terlaksana secara demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif sendiri merupakan gagasan dari Jurgen Habermas dengan tujuan memberikan ruang publik secara komunikatif antara negara dan masyarakat (Muthhar, 2016). Dilansir dari CNBC Indonesia bahwasanya terjadi kekecewaan PGRI dengan alasan tidak diikutsertakan dalam pengambilan kebijakan (Hastuti, 2020). Sikap Kemendikbud tersebut bisa berakibat fatal sebab kurangnya komunikasi dengan berbagai pihak khususnya lembaga pendidikan dapat berdampak pada kurangnya optimalisasi keputusan. Apabila menyelisik perkataan Hamid Muhammad bahwa proses pembelajaran dapat dilakukan di sekolah dengan memberikan persyaratan khusus dari gugus tugas atau dilakukan dengan belajar di rumah.Â
Kedua poin itu jika diterapkan dapat diprediksi kurang praktis. Alasan pertama sistem pembelajaran dengan dilaksanakan di sekolah dapat memberikan rasa khawatir semakin melonjaknya kasus covid-19, karena belum tentu para peserta didik dan guru dapat menerapkan protokol kesehatan secara baik. Alasan kedua yaitu, jika proses belajar mengajar dilaksanakan dari rumah harus terdapat mekanisme secara tepat sebab masih terjadi permasalahan di dalamnya.Â
Mengutip data dari The Conversation terjadi akar masalah seperti terbatasnya kepemilikan perangkat laptop, jaringan internet tidak menyeluruh, ketimpangan peran gender di mana perempuan lebih mendominasi dalam membimbing anaknya belajar, dan proses belajar terkadang tidak dilaksanakan (Arsendy, Sukoco, & Purba, 2020).
Meminjam pemikiran dari Aristoteles mengenai konsep aktualitas dan potensialitas yang menggambarkan bahwa kehidupan di muka bumi terdapat sebab dan akibat (Alivane, 2020). Kedua prinsip itu dapat dipakai untuk melihat bahwa kebijakan Kemendikbud dapat mempengaruhi keberlangsungan pendidikan ke depannya.Â
Kebijakan menempati potensialitas yang merupakan media fundamental untuk mempengaruhi jalannya pembelajaran. Ketika kegiatan belajar mengalami penggangguan maka aktualitas yang berupa peserta didik dan tenaga pendidik akan memiliki efek kurang maksimal.