Mohon tunggu...
Akbarmawlana
Akbarmawlana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menerapkan ruang publik agar bermanfaat

Penulis merupakan mahasiswa sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Objek Eksploitasi Pendidikan Modern

2 Mei 2020   14:00 Diperbarui: 3 Mei 2020   12:23 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Berbicara masalah pendidikan secara langsung pola berpikir akan tertuju pada objek sekolah. Hal ini adalah wajar sebab masyarakat pada umumnya memiliki pemikiran pada pendidikan dalam arti sempit yaitu proses pengajaran yang terjadi di sekolah.

Sebenarnya bicara mengenai pendidikan bukan hanya sekadar berorientasi pada sekolah sebab pendidikan memiliki artian sempit dan luas. Hakikat dari pendidikan sendiri yaitu proses pembelajaran oleh seseorang selama hidupnya berlangsung. Lingkup dari pendidikan pertama kali dilakukan oleh keluarga sebagai kelompok sosial bersifat primer dan intim. Proses penyempurnaan dari sebuah pendidikan maka didirikan lembaga sekolah untuk memberikan pengajaran secara intensif dengan melibatkan guru di dalamnya. 

Kegiatan pendidikan di sekolah secara fundamental terjadi antara peserta didik dan tenaga pendidik. Peserta didik sendiri merupakan orang yang mengembangkan keilmuannya, sedangkan tenaga pendidik menurut undang - undang nomor 20 tahu 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 1 ayat 6 menyatakan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator,dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam mneyelenggarakan pendidikan. Secara singkat tenaga pendidik dapat dipahami sebagai orang yang memfasilitasi proses pendidikan selama berlangsung di sekolah.

Keberadaan tenaga pendidikan sendiri berjalan dengan tidak semulus yang dibayangkan pada pelaksanaannya, karena banyak fenomena memperlihatkan bahwa terjadi permasalahan di bidang pendidikan terutama berkiatan dengan guru. Permasalahan pertama adalah mengenai kasus kekerasan dalam dunia pendidikan.

Kasus kekerasan memberikan pencorengan nama baik dunia pendidikan alasannya sudah jelas sekolah didirikan untuk menghumanisasi manusia bukan malah sebaliknya. Kasus kekerasan sendiri terjadi kepada peserta didik dan guru, contoh kasusnya terjadi kekerasan terhadap peserta didik di SMA Negeri 12 Kota Bekas yang bermula dari guru memukuli muridnya yang diakibatkan oleh faktor keterlambatan (Santoso & Pramudita, 2020). Selanjutnya kekerasan murid kepada gurunya terjadi di Kabupaten Gresik kejadian bermula dari seorang siswa mencekik gurunya sendiri (Rahadi,2019). 

Permasalahan kedua adalah mengenai tingkat kesejahteraan guru tidak tetap atau disingkat menjadi GTT. Kondisi kesejahteraan guru tidak tetap memiliki keadaan tidak jelas hingga saat ini. Apabila diselisik lebih mendalam penyebutan guru tidak tetap hanya sekadar pemanis saja, karena kerja guru tidak tetap dengan buruh di pabrik hampir serupa.

Permainan kata guru tidak tetap bisa saja merupakan gagasan untuk memberikan rasa nyaman terhadap status penyebutan nama guru diawal, karena karakteristik sosial masyarakat di Indonesia lebih mengarah untuk memberikan penghormatan kepada seorang guru. Mengurai lebih jauh bahwa guru tidak tetap sebanding posisinya dengan buruh yang mengalami proses pengeksploitasian selama ia bekerja.

Gagasan tersebut bisa dianalisis menggunakan konsep nilai surplus dari Karl Marx yang mengkaji tentang buruh. Nilai surplus sendiri merupakan bentuk moneter bagian produksi kerja yang diserahkan ke pada pemilik alat produksi dengan imbalan yang tidak sesesuai dengan hasil kinerja produksinya (Hidayat, 2015). Sebanding dengan seorang guru ia dipakasa memproduksi dari keahliannya bedanya jika buruh menggunakan tenaganya maka guru tidak tetap memakai pemikirannya. Pemikiran dari GTT itu dipakai secara maksimal 

Seorang guru tidak tetap sama halnya dengan buruh ia mengalami suatu keterasingan pada dirinya sendiri. Keterasingannya mengenai harapannya yang terlampau sulit untuk diperoleh. Zaman modern ini guru tidak tetap terjebak di ruangan kalang kabut dampaknya bisa dirasakan bahwa ia terperangkap oleh suatu sistem yang bisa menyebabkan dehumanisasi. Sistem pendidikan kita berbentuk dari ekspresi sistem perekonomian kapitalis yang terkesan rasional karena janji akan memberikan tingkatan hidup secara baik (Suseno, 2013). Rasionalitas itu dilihat dari bagaimana sistem mengatur bahwa gaji diberikan ke guru tidak tetap sudah sesuai dengan kalkulasi dari jam mengajarnya. Penalaran itu hanya bungkusan luarnya saja jika dilihat dengan utuh itu hakikat dari sistem irasional. Permainan strategi dengan sistem tersebut agar sekolah tidak mau dibuat repot memikirkan nasib guru tidak tetap.

Fenomena pengeksploitasian di dunia pendidikan modern akan terus terjadi secara berkelanjutan atau bahkan lebih parah penyebabnya sistem pendidikan kita masih memberlakukan birokrasi alienasi. Ciri birokrasi teralienasi memelihra sistem searah dan tidak bertanggung jawab (Fromm, 2019). Sistem searah ini dapat dikatakan konsumsi budaya positivisme di ruang lingkup pendidikan. Positivisme mengisyaratkan bahwa apa yang terberi tidak bisa diubah kembali. Kondisi positivisme memberikan sinyal kuat bahwa sistem untuk mengatur guru tidak tetap indikasi terhadap apa sudah diberi oleh atasan ke bawahan. Untuk mengatasi kegaduhan dunia pendidikan saat ini mengenai tenaga pendidik maka kita harus bisa menelanjangi sistem sebelumnya sudah tebentuk. Sistem bisa dilawan ketika ada perubahan konsepsi dari rasionalitas instrumental menjadi rasionalitas komunikatif, jika rasionalitas instrumnetal bersifat subjek objek dengan rasionalitas komunikatif lebih bersifat horizontal (Nuryatno, 2011). Pengharapan rasionalitas komunikatif diharapkan bisa memberikan ruang lebih untuk menciptakan diskusi saat semuanya sudah diambang batas kewajaran. Singkatnya untuk menekan angka pengeksploitasian di pendidikan harus lebih bersifat aktif sebab manusia diciptakan memiliki kebebasannya agar dapat dimanfaatkan secara humanis dan aktif.

Fromm, E. (2019). Revolusi Harapan. Yogyakarta: IRCiS0D.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun