Sementara Dr. Janet Steele, yang telah mempelajari Indonesia selama lebih dari 20 tahun, mengatakan situasi buzzer di Indonesia tidak "secara unik mengkhawatirkan."
Studi baru dari Universitas Oxford dan Oxford Internet Institute mencatat Indonesia sebagai negara dengan kapasitas cybertroops yang rendah -- aktif selama pemilu, tapi tidak beraktivitas hingga siklus pemilu berikutnya.
Dr. Steele mengungkapkan keheranannya bahwa studi berjudul "The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation" itu mendapat perhatian besar di Indonesia, terutama dari kalangan media, padahal contoh kasus di Indonesia hanyalah sangat kecil dibanding negara-negara lainnya.
"Hal ini terjadi di seluruh dunia, dan ini sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Tapi saya pikir ini bukan hal yang secara unik mengkhawatirkan di Indonesia," ujarnya. "Saya sangat terkesan dengan usaha kantor berita melawan hoax dan disinformasi."
Steele memuji upaya cek fakta yang dilakukan lewat kolaborasi berbagai media di Indonesia.
"Saya pikir sangat bagus ketika hoaxbuster dilakukan oleh kantor berita swasta. Yang kita tidak inginkan adalah pemerintah terlibat dalam menentukan sesuatu sebagai dinsinformasi hanya karena mereka tidak menyukai isinya," kata Steele.
Bagaimana dengan peran pemerintah?
Sesi diskusi ini juga membahas bagaimana pemerintah di seluruh dunia membatasi kebebasan pers dan kebebasan berpendapat baik online maupun offline dengan alasan memberantas berita bohong atau ide ekstrem.
"Contohnya, pada 2018 ada sekitar 292 kasus penistaan, ujaran kebencian, dan konten seksual di media sosial. Menurut saya, hal ini membantu buzzer media sosial, karena orang-orang takut menyuarakan opini mereka di media sosial," kata Irwan Saputra dari Dompet Dhuafa USA.
Sementara Steele mengatakan hal serupa sudah terlihat sejak Orde Baru saat pemerintah melarang artikel berbau SARA untuk meredam 'rumor.'