Sebagai hamba Allah yang Islam dan beriman kita diajak untuk mempercayai Alquran sebagai kitab dan pedoman manusia yang Allah wahyukan kepada Nabi Muhammad Sallawllhu Alaihi Wassalam sebagai penutup para Nabi (Khotamul Anbiya). Secara ringkas Alquran yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad berisi tiga bahasan utama
- Perintah, yang harus dikerjakan sekuat kita
- larangan, yang harus kita jauhi sejauh-jauhnya
- cerita, yang harus kita yakini seyakin-yakinya.
Di antara cerita yang Allah sampaikan kepada kita melalui Nabi-NYA ialah cerita daripada umat terdahulu baik yang iman maupun kafir. Cerita/kisah yanng terkadang sukar diterima nalar namun terus kita berusaha menggali hikmahnya guna menjadi obat dan rahmat bagi semesta alam. Salah satu cerita dari Allah yang Maha Dahsyat kali ini akan berkisah tentang Nabi yusuf Alahissalam. Nabi yang sudah kondang akan ketampananya, Seorang Nabi hamba Alllah yang solih dimana beranjak dari seoang anak pengembala kambing di pedalaman perkampungan nun jauh dari peradaban hingar bingarnya Mesir, kelak menjadi seorang Raja soleh yang ceritanya terus dikenang hingga hari akhir kelak. ia, dialah Nabi Yusuf sang Ekonom.
Sekilas pandang tentang pandangan ekonom dunia barat
Tulisan ini terinspirasi sewaktu saya mengikuti perkuliahan Advanced Macroeconomics yang waktu itu dosen saya tengah menerangkan perihal bab perilaku konsumen (Consumer behavior). Sebelum tercetus ide teori Makroekonomi (membahas perilaku ekonomi dari sudut makro/global/negara), pola pemikiran ekonomi dunia saat itu cenderung pada madzhab klasik/mikroekonomi (membahas perilaku ekonomi dari sudut individu/pasar) yang di prakasai oleh Adam Smith tahun 1776 dimana, pasar selalu (pasti) dalam keadaan ideal/seimbang (equilibrium) sekalipun terjadi fluktuasi dalam perekonomian.
Dalam pandangan klasik setidaknya ada dua asumsi. pertama, perilaku konsumsi masyarakat bergantung pada tingkat suku bunga (interest) dimana ketika suku bunnga naik masyarakat cenderung mengurangi konsumsi dan lebih menguntungkan untuk menabung dikarenakan adanya intensif suku bunga dan ketika suku bunga rendah masyarakat cenderung meningkatkan kegiatan konsumsinya dikarenakan murahnya biaya kredit. kedua mekanisme pasar yang tidak boleh diintervensi oleh pemerintah.
Ide ini cukup populer dan bertahan hingga terjadinya great depresion pada tahun 1930 yang melanda global sehingga mematahkan asumsi klasik bahwa pasar akan selalu dalam keadaan seimbang dan konsumsi masyarakat bergantung pada tingkat suku bunga. Sehingga munculah ekonom kenamaan Ingrris yang bernama Jhon Mynard Keynes yang merilis buku the general theory of money, labor, and interest yang berasumsi bahwa konsumsi masyarakat dipengaruhi oleh pendapatan dan perlunya peran pemerintah untuk menyeimbangkan kondisi pasar ketika pasar mengalami kegagalan pasar (Market Failure) sehingga munculah kajian ilmu baru dalam dunia ekonomi yang disebut Makroekonomi.
Dalam pandangan Keynes tentang perilaku konsumsi , konsumsi masyarakat sangatlah dipengaruhi oleh pendapatan. Dimana, ketika pendapatan seseorang naik maka konsumsi akan cenderung naik namun kenaikan tersebut tidak akan lebih dari besar kenaikan pendapatan orang tersebut. Asumsi inilah yang memunculkan teori Marginal Prospensity to Consume (MPC) dimana nilai MPC terletak di antara 0 -- 1 (0 < MPC < 1). Selain itu dalam teori Keynes juga berpendapat bahwa konsumsi masyarkat akan cenderung menurun terus menerus.
Namun asumsi ini kembali dipatahkan pada tahun 1950-an oleh ekonom Simon Kuznets menemukan sebuah bukti empiris yang dia dapat dari data konsumsi ekonomi eropa pada tahun 1869 sampai pasca perang dunia kedua dimana perilaku konsumsi masyarakat cenderung stabil/konstan yang kemudian disebut Secular stagnation sehingga pandangan teori konsumsi Keynes dan Kuznets jika digambarkan seperti ini,
Pasca munculnya dua asumsi di atas, memunculkan teka-teki di antara para ekonom setelahnya. Dimana, mereka berlomba-lomba mengusulkan hipotesa suatu model perilaku konsumsi yang ideal untuk menjawab teka-teki tersebut.
Dari sekian banyak model yang diajukan ada beberapa model yang cukup populer, yaitu model yang ditawarkan oleh Irving Fisher dalam hipotesnya yang bernama Intertemporal Choice yang membawanya meraih Nobel prize in economics. Dimana dalam pandanganya, perilaku konsumsi masyarakat cenderung memilih dan bersifat temporal/tidak tetap. Asumsi dasar teori konsumsi adalah, "seingin-inginya konsumen mengkonsumsi sesuatu dia akan dihadapkan dengan yang namanya garis anggaran/budget constrain" . Dengan kata lain Fisher berpendapat bahwa pendapatan seorang konsumen tidak akan dihabiskan langsung dalam sekaligus melainkan dia akan menabung untuk konsumsi dimasa yang akan datang. Sederhanya, coba kita buat model perilaku konsumsi ala Fisher
Konsumsi, dinotasikan sebagai C
Tabungan, dinotasikan sebagai S
Pendapatan, dinotasikan sebagai Y
Tabungan (S) adalah selisih dari pendapatan saat ini (Y1) dan konsumsi saat ini (C1) , atau
S = Y1-C1
Selanjutnya, konsumsi di masa yang akan datang (C2) adalah tabunganya yang kemarin ditambah pendapatanya di masa yang akan datang (Y2), atau
C2 = S + Y2
sekalipun seseorang memiliki pendapatan yang akan datang (Y2) sama dengan 0, dia tetap bisa melakukan konsumsi karena dia memiliki akumulasi tabungan (S). itulah mengapa dalam konsep ekonomi, kekayaan (Wealth) adalah akumulasi pendapatan yang ditabung.
Intermezzo
ada istilah kekayaan (wealth) dan kaya (rich). Dalam ekonomi, kedua istilah ini berbeda. Dimana, kekayaan ibarat sebuah kolam (pool) sedangkan kaya adalah sumberan/mata airnya (flow). Ukuran kaya (rich) ialah soal berapa banyak pendapatanya (income) dimana semakin deras aliran pendapatanya dia akan kaya, namun jika derasnya aliran kekayaan itu tidak dia tampung maka ketika sumberanya itu berhenti maka dia akan miskin (poor). Sebaliknya ketika dia bisa menampung aliran pendapatanya dengan bijak maka dia menjadi kekayaan (wealth). Sebabnya orang Indonesia punya pepatah "hemat pangkal kaya" atau dalam bahasa agamanya "Mujhid Muzhid"
Kembali ketopik
Dari model Fsiher tadi dapat digambar seperti ini,
Nabi Yusuf sang Ekonom
Setelah kita berpetualang dipemikiran para ekonom barat masa kontemporer kita kembali masa ke ribuan tahun silam saat Nabi Allah Yusuf tengah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi saat masa Raja Qitfir (atau Tutankhamen) di Mesir. Semua itu bermula saat Yusuf diminta untuk menafsirkan salah satu mimpi raja,
Dan raja berkata (kepada para pemuka kaumnya), "Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus; tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering. Wahai orang yang terkemuka! Terangkanlah kepadaku tentang takwil mimpiku itu jika kamu dapat menakwilkan mimpi. (QS Yusuf ayat 43)
Bak bertemu Sapi emas, para penakwil mimpi kerjaan sama bingung menafsirkan mimpi sang Raja. Melalui rekan lamanya yusuf sewaktu di penjara menawarkan kemampuan Yusuf dalam menafsirkan mimpi Raja. Setelah itu Yusuf berkata,
Dia (Yusuf) berkata, "Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa; kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di tangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian setelah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan. Setelah itu akan datang tahun, di mana manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur)." (QS. Yusuf ayat 47-49)
Tidak sampai disitu, dalam Yusuf mengejawantahkan tafsir mimpinya tersebut, yusuf meminta untuk dijadikan bendahara kerajaan
Dia (Yusuf) berkata, "Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan." (QS Yusuf ayat 55)
Singkat cerita betul saja, dengan wahyu dari Allah strategi ekonomi yang dicanangkan yusuf berhasil membawa Mesir selamat dari masa depresi ekonomi. Terlepas dari teroi ekonomi yang ditawarkan Keynes dan Fisher, yusuf sudah menerapkan pentingnya intervensi pemerintah disaat pasar mengalami kegagalan (market failure) serta konsep Intertemporal choice nya Fisher dengan membagi pendapatan yang didapat Mesir saat itu, untuk disimpan (tabung) agar bisa menjadi modal konsumsi di masa yang akan datang ketika pendapatan pada masa itu, nyaris sama dengan 0.
Bagaimana itu semua bisa?
Tak lain dan tak bukan ialah lantaran bukti kebesarn Allah sang Khalik. Bahwa seangkuh-angkuhnya manusia yang mendewakan kepintaran tetap lebih dahsyat dan hebat ilmunya Allah
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Lukman ayat 27)
banyak sekali tanda-tanda kebesaran Allah, maka tugas manusia adalah untuk merenungkan dan berpikir atas kebesaran Allah
Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin. (QS. Albaqoroh ayat 118)
Sekian, semoga Alllah selalu memberikan Rahmat dan Ampunan-NYA
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakathu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H