Sebuah kisah kerelaan seorang ibu mengamen demi menyekolahkan anak......
Beberapa hari yang lalu saya tengah sibuk mengutak-atik file di layar komputer di sebuah tempat foto kopian di dekat kampus. Ada beberapa hal yang mesti dicek lagi sebelum file-nya itu di-print agar tidak terjadi kesalahan mengingat jumlah halamannya yang cukup banyak sekaligus diperbanyak untuk keperluan seminar proposal skripsi. Lebih kurang jumlahnya 250 halaman. Kalau salah-salah berarti hasilnya nanti menjadi tidak baik dan tentu akan mendapat banyak koreksi.
Kebetulan yang jaga foto kopian tersebut berasal dari satu daerah yang sama dengan saya. Dia orangnya masih muda dan umurnya dua tahun di atas saya. Kebetulan orangnya juga termasuk orang yang suka berteman jadi ke foto kopian sekarang tidak hanya sekedar nge-print atau memfoto kopi tapi juga terasa lebih menyenangkan karena bisa mengobrol dan berbagi cerita.
File yang akan di-print foto kopi siap untuk dikeluarkan. Kursor mengarah dan diarahkan untuk memilih perintah-perintah untuk segera di-print. Tinggal klik maka mesin pun akan merespon dan bekerja sesuai perintah. Mesin foto kopian pun bernyanyi indah sambil mengeluarkan satu per satu helai halaman kertas dari dalam tubuhnya.
Ketika perhatian saya terfokus ke mesin foto kopian yang sedang bekerja, tiba-tiba terdengar alunan musik unik dari jarak beberapa meter di luar tempat foto kopian. Ketika pertama kali mendengar nada musik seperti itu kita akan langsung tahu itu musik apa, siapa yang memainkan dan bagaimana cara memainkannya.
Musik seperti yang kami dengar itu adalah musik yang sering terdengar di jalanan. Pipa-pipa saluran air yang dimodifikasi bentuknya menjadi seperti gendang. Cara memainkannya tentu sama dengan memainkan gendang. Jika demikian, siapa yang mahir memainkannya? Ya, tentu para pengamen jalanan yang lebih pandai memainkannya.
Seorang ibu-ibu paruh baya berdiri di depan tempat foto kopian. Datang tak diundang pulang pun tak diantar. Kostumnya biasa dan sederhana. Untuk menjadi seorang pengamen, ibu itu belum lulus kostum karena pakaian yang dikenakannya tidak menunjukkan jati diri seorang pengamen yang harusnya lebih lusuh dan kalau bisa ada beberapa bagian yang robek.
Suaranya yang sangat fals ala ibu-ibu mengalun tanpa paksaan. Diiringi dengan alunan musik gendang pipa yang ia mainkan sendiri. Saat ibu itu beraksi menunjukkan aksinya di hadapan kami, kami pun juga menujukkan sikap menghargai dengan sesekali memperhatikannya. Belum selesai ibu itu bernyanyi, tiba-tiba yang jaga foto kopian bertanya pada ibu tersebut.
“Bu, uang recehnya udah dapat banyak? Saya mau uang kertas ini ditukarkan dengan uang recehan yang sudah terkumpul.”
“Baik, Mas. Ini udah terkumpul cukup banyak dan bisa ditukarkan,” kata ibu sambil mengeluarkan kepingan-kepingan uang receh dari dalam tas kecil yang ia sandang.
Kemudian mereka pun sibuk menghitung dan mengelompokkan kepingan-kepingan uang receh itu sesuai dengan nominalnya agar mudah dihitung.
“(satu, dua, tiga…. Bla bla blaaa, sampai seterusnya) 57 ribu semuanya ya Bu?”
“(ibu itu mencoba mengecek ulang dengan dengan menghitungnya sendiri) iya jumlahnya benar,” kata ibu itu membenarkan.
Kemudian kepingan-kepingan uang receh itu dimasukkan semuanya ke dalam tempat penyimpangan uang oleh yang jaga foto kopian. Kemudian setelah itu ia memberikan uang dalam bentuk kertas sesuai dengan jumlah uang receh yang tadi dihitung bersama.
Ibu itu menerima uangnya dalam bentuk kertas. Sebelum ia beranjak pergi, tiba-tiba ibu itu bilang,
“Ini buat tambahan biaya PKL anak saya, Mas. Buat tambahan biaya makannya.”
“Memangnya, anak ibu mau PKL di mana ya, Bu?” tanya mas foto kopian menanggapi pernyataan ibu itu.
“Anak saya mau PKL di Semarang, mas. Dua hari lagi mau berangkat ke sana,” kata ibu itu menambahkan.
Kemudian setelah perbincangan singkat itu, ibunya beranjak pergi. Melanjutkan perjalanannya menyinggahi tempat-tempat usaha semacam foto kopian itu atau usaha lainnya yang ia temui sepanjang jalan, sejauh kaki melangkah.
Saya hanya memperhatikan sikap mereka sedari awal tadi. Mungkin karena tahu saya memperhatikan, mas yang jaga foto kopian bercerita tanpa saya minta. Ia mengatakan bahwasanya ia sering menukarkan uang kertasnya dengan uang receh yang dikumpulkan pengemis. Gunanya untuk memudahkan pengembalian uang para pelanggan yang mampir di tempat foto kopiannya.
Hmm… ternyata di sini ada fenomena mutual symbiosisme antara mas foto kopian dengan pengamen. Mereka saling diuntungkan satu sama lain. Mas foto kopian sangat membutuhkan uang receh agar tidak kesulitan saat pengembalian uang pelanggan. Sebaliknya pengamen juga senang karena tidak ribet membawa-bawa uang receh ke mana-mana. Ooo… jadi begitu toh…
“Biasanya sih saya menukarkan gak sama ibu yang tadi. Biasanya saya tukarkan dengan ibu-ibu pengamen yang anaknya kuliah di kampus titttttttt (nama salah satu universitas di Jogja).”
“Iya po? Anaknya ada yang kuliah ya?”
Dari percakapan kami siang itu dapat saya ketahui informasi bahwa banyak pengamen yang serius menyekolahkan anak-anak mereka. Ibu pengamen itu pasti punya cita-cita dan keinginan untuk membahagiakan anaknya agar anaknya kelak bisa hidup lebih baik dari yang dialami ibu itu sekarang. Kalau sudah begini saya jadi makin sayang sama ibu saya di kampung yang juga sama-sama luar biasa.
Selama ini saya sering mendapatkan berita baik di TV atau internet bahwa pendapatan seorang pengamen dalam sehari bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Pasti banyak orang yang tidak menyangka bahwa mengamen bisa mendatangkan pendapatan sebanyak itu. Banyak orang yang merasa sinis kepada para pengamen. Hal itu wajar melihat usaha yang mereka kerahkan sangat sederhana. Kita bedakan mana yang pengamen dan mana yang peminta-minta. Mereka itu sedikit berbeda. Bedanya pengamen lebih kelihatan usaha yang dilakukannya. Misalkan dengan memainkan alat musik.
Saya paham bahwa mengamen adalah termasuk usaha yang tidak membanggakan, jangan ditiru. Tapi apa daya melihat kondisi kerasnya zaman saat ini. Persaingan semakin keras dan menjadi-jadi. Mereka yang tidak memiliki keahlian tentu akan tergusur dan melarat. Akhirnya untuk bisa bertahan segala cara harus diusahakan termasuk dengan jalan mengamen.
Pandangan saya juga sama dengan kalian semua bahwa mengamen ataupun meminta-minta sejatinya adalah bentuk usaha yang tidak baik. Rendah di mata manusia dan juga di mata Tuhan. Namun di sini yang saya lihat adalah niat dari ibu pengamen itu. Niat yang sangat luar biasa karena untuk menyekolahkan anaknya. Beliau memiliki anak, anaknya berhak mendapatkan pendidikan, sehingga beliau berusaha memperjuangkannya. Kalau beliau tidak berusaha siapa yang akan peduli dengan nasib anaknya. Masyarakat saat ini semakin berjiwa individual sedangkan pemerintah kurang tanggap dengan permasalahan klasik ini.
Saya yakin niat ibu itu pasti mulia. Bersekolah dan merasakan pendidikan adalah sebuah anugerah yang semestinya bisa dirasakan dan dinikmati oleh semua orang tanpa terkecuali. Saya yakin ibu itu juga memiliki mimpi menyaksikan anaknya sukses kelak. Walaupun ibu itu berusaha keras dengan berbagai cara termasuk mengamen ke sana-kemari tapi ia sangat berkeinginan membahagiakan anaknya. Niat mulia ibu itu semoga bisa dikabulkan oleh Tuhan. Semoga anaknya mengerti dengan perjuangan ibunya itu. Dan berharap anaknya mau belajar keras agar bisa hidup lebih baik dan mampu membalas perjuangan ibunya itu.
Jika semakin banyak anak-anak pengamen yang bersekolah, maka diharapkan semakin berkurang jumlah generasi pengamen di masa mendatang. Orang yang punya ilmu dan pernah belajar pasti tidak akan rela meminta-minta. Pasti mereka akan berusaha dan berpikir bagaimana berusaha untuk hidup yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H