Peristiwa gempa bumi yang mengguncang Padang (Sumatera Barat) yan terjadi pada 2009 lalu telah mengubah banyak hal bagi kehidupan warganya. Termasuk saya pribadi. Gempa bumi yang pusatnya di Kota Padang dan Pariaman tersebut kedahsyatannya bisa kami rasakan hingga ke Payakumbuh. Kota tempat saya tinggal itu jaraknya lebih kurang tiga jam perjalanan darat menggunakan bus atau mobil pribadi. Sebuah duka yang tak akan pernah untuk kami lupakan.
Kebetulan peristiwa sejarah itu terjadi ketiga saya duduk di bangku kelas 3 Madrasah. Di tahun-tahun masa akhir studi di bangku sekolah dan akan segera melanjutkan studi di perguruan tinggi. Karena kebetulan saya termasuk anak yang cukup pandai dan sering mendapat juara kelas, membuat saya harus berpikir untuk melanjutkan studi ke jenjang berikutnya ketimbang langsung mencari pekerjaan. Dan orang tua khususnya Mama juga sangat mendukung dan menginginkan saya untuk bisa melanjutkan studi di perguruan tinggi.
Di perguruan tinggi mana saya akan melanjutkan studi? Itulah pertanyaan yang membuat saya galau saat itu. Padang adalah sebuah kota pendidikan di kawasan sumatera. Posisi sebagai kota tujuan pelajar untuk melanjutkan studi memang sudah diakui oleh masyarakat sumatera. Itu terbukti dari ramainya pelajar luar daerah yang belajar dan melanjutkan studi di ibukota provinsi yang berjuluk “tuah sakato” ini.
Saya sebenarnya juga sudah merencanakan untuk melanjutkan studi ke kota Padang. namun karena peristiwa gempa yang terjadi saat-saat suasana genting penentuan kota untuk lanjutan studi membuat saya mengkaji ulang dan memutuskan untuk melanjutkan studi ke luar Sumbar dan kalau bisa keluar pulau Sumatera. Apakah gempa dijadikan alasan untuk masalah ini? apakah saya terserang perasaan trauma karena peristiwa gempa ini? entahlah. Padahal yang sama-sama kita tahu bahwasanya negara kita ini memang tak akan pernah lepas dari yang namanya bencana alam.
Namun demikian, karena mungkin sudah jalannya dari tuhan akhirnya saya memutuskan untuk memasukkan pendaftaran sebagai mahasiswa undangan di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Yogyakarta. kota yang juga dijuluki sebagai kota pelajar yang menjadi tujuan banyak mahasiswa luar provinsi untuk melanjutkan studi di kota ini. sebenarnya saya tak pernah merencanakan untuk kuliah di Jogja. itu semua karena datangnya surat undangan ke sekolah kami dan kesempatan baik tersebut langsung dimanfaatkan oleh saya dan teman-teman. dan akhirnya kami bisa menginjakkan kaki di kota pelajar ini dan kini kami malah berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir yang tengah disibukkan dengan proyek tugas akhir, skripsi.
Di kampus tempat saya kuliah saat ini, saya memperoleh banyak pengalaman baru dan berharga. Atmosfer akademik dan kegiatan berorganisasi sangat terasa. Status sebagai kota pelajar memang tak salah. Begitu banyak organisasi yang bisa mewadahi kreatifitas, bakat dan minat yang dimiliki oleh pada pelajar dan mahasiswa. Kegiatan beroganisasi adalah sebuah hal wajib yang musti diikuti oleh para mahasiswa jika ingin mengembangkan minatnya untuk hal-hal yang lebih positif dari hanya sekedar pergi-pulang kuliah.
Atmosfer positif seperti itu yang juga menggerakkan langkah saya untuk ikut bergabung dengan beberapa organisasi. Di awal masa kuliah saya memang lebih fokus untuk belajar dan menyalurkan semangat belajar karena memang tujuan utama saya kuliah kesini adalah untuk belajar dan melanjutkan studi. Namun godaan untuk ikut organisasi tidak bisa dielakkan lagi. Sayang sekali jika waktu luang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan positif selama mengikuti kegiatan di organisasi.
Hingga saat ini saya masih tercatat sebagai anggota di beberapa organisasi. Selain itu saya juga berperan dalam kepengurusan organisasi yang ada di asrama mahasiswa daerah, tempat saya tinggal di kota ini. namun disini saya akan lebih menceritakan pengalaman di organisasi yang berbau sosial atau kerelawanan.
Saya memutuskan untuk mengikuti organisasi yang menjadi salah satu UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) di kampus. UKM ini kebetulan berada dibawah naungan PMI (Palang Merah Indonesia). Jadi di beberapa kampus di Jogja terdapat UKM yang menjadi bagian unit dari cabang PMI. Dan yang ada di kampus saya adalah Kors Sukarela (KSR) PMI Unit 7 UIN Sunan Kalijaga yang menjadi bagian unit dari PMI cabang Kota Yogyakarta yang bermarkas di Jalan Tegalgendu, Kotagede.
Kenapa saya tegerak untuk ikut organisasi relawan ini? salah satu yang paling mendasar adalah pengalaman berharga yang saya bawa dari Payakumbuh, yaa apalagi kalau bukan gempa. Gempa menjadi sebuah bencana alam yang banyak meninggalkan korban jiwa. Teriris rasanya dada ini ketika melihat banyaknya sanak saudara seranah yang menjadi korban. Ingin rasanya saya mampu mengulurkan tangan menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan. Itulah faktor utama yang melatar belakangi saya bergabung dalam organisasi kemanusiaan ini.
Sebagai calon relawan kami mendapatkan banyak ilmu yang berharga yang kami peroleh secara cuma-cuma. Mulai dari materi siaga bencana, pertolongan pertama hingga donor darah. Ini adalah sesuatu yang baru bagi saya yang selama ini tidak pernah saya ketahui sebelumnya. Untuk membangun kemampuan menolong sesama diperlukan sebuah keahlian dan pengetahuan agar pertolongan yang diberikan tidak menyalahi aturan. Lebih kurangnya apa yang kami pelajari di PMI sama seperti profesi dokter. Hanya saja tentu kualitas dan ketangguhan dokter dalam segi ilmunya jauh diatas dari yang kami pelajari itu.
Menjadi salah seorang yang berstatus sebagai Korps Sukarela membuat saya banyak belajar dan mendapatkan sesuatu yang sangat berharga. Pengalaman ini menjadi ilmu yang sewaktu-waktu dan sampai kapanpun nantinya bisa diaplikasikan. Karena tugas membantu sesama tidak terbatas waktu dan keadaan.
Disini kami benar-benar ditanamkan jiwa kemanusiaan yang tinggi. Di PMI ada 7 Prinsip Dasar yang harus dijiwai oleh segenap relawannya. Bahwa semua orang di dunia ini sama. Sama-sama membutuhkan bantuan. Kami ditanamkan untuk tidak membeda-bedakan dalam meberi bantuan. Perbedaan latar belakang, agama, suku, ras, etnik dan sebagainya tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan bantuan apalagi jika sampai membeda-bedakan perlakuan dalam memberikan bantuan.
Saya juga menemukan banyak teman dengan latar belakang yang berbeda. saya bisa berkenalan dengan relawan lain yang berbeda agama dan etnik dengan saya dari kampus yang berciri keagamaan di Jogja ini. Itu semua mampu membentuk sikap multi kulturalisme yang mengajarkan kepada kami untuk selalu bersikap toleran dan saling menghargai.
Saya masih ingat ketika dulu ditanyai oleh pemateri disaat kami mengikuti rangkaian kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Dasar (DIKLAT). Apa motivasimu ikut kegiatan PMI? Saya menjawab karena saya berasal dari daerah yang rawan bencana, saya sangat ingin mampu ikut terlibat memberi pertolongan meringankan beban mereka. Ketika nanti saya pulang kampung dan menetap kembali disana, saya berharap bisa ikut memberi bantuan kepada sanak saudara seranah mengaplikasikan ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan selama mengikuti kegiatan organisasi kerelawanan ini.
Lalu bagaimana dengan nasib kuliah? Apakah ada masalah? Tentu tak ada masalah yang signifikan selama kita mampu membagi waktu dengan tepat. Kita memang harus menyadari bahwa tugas utama seorang mahasiswa adalah kuliah dan belajar. Namun sisi kemanusiaan yang ada dalam setiap diri manusia terutama mahasiswa tidak boleh diabaikan dan mesti disalurkan. Karena seperti yang selama ini kita ketahui katanya mahasiswa adalah agent of change.
Menjadi relawan selama kuliah apa salahnya? Jika kuliah bisa berjalan dengan baik lalu kita juga bisa memanfaatkan waktu dengan kegiatan positif yang bermanfaat tentu hal itu jauh lebih baik dan memberikan nilai tambah bagi seorang mahasiswa. Dengan begitu semoga nantinya ketika terjun ke masyarakat kita mampu berkontribusi dan menjadi bagian dalam kehidupan bermasyarakat yang dinamis.
Salam relawan..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H