Keempat, dekorasi rumah yang simpel dan elegan.
Menghiasi rumah untuk lebaran dengan pernak-pernik baru memang menyenangkan. tetapi tentu saja dekorasi tersebut hanya bertahan sebentar sebelum akhirnya disingkirkan saat lebaran telah usai.
Alih-alih membeli banyak barang pernak-pernik baru maka sebaiknya kita bisa menata ulang perabotan yang ada atau bisa juga dengan memanfaatkan dekorasi natural seperti tanaman.
Bila tetap keukeuh memilih untuk membeli aksesori maka pilihlah yang bersifat timeless dan tidak mudah usang sehingga dapat digunakan sepanjang waktu di luar lebaran.
Kelima, silaturahmi yang penting bermakna.
Silaturahmi adalah inti dari lebaran. Akan tetapi tidak harus dilakukan dengan perjalanan jauh yang menguras tenaga dan biaya. Terlebih di era modern seperti ini, jika tidak sempat mudik maka dengan teknologi kita bisa tetap terhubung dengan keluarga dan teman melalui panggilan video.
Sedangkan jika harus mudik maka memilih transportasi yang hemat, efisien dan rendah emisi karbon. Mudik hijau merupakan menjadi bagian dari penerapan minimalisme ini.

Ramadan dan Lebaran Tetap "Menyala"
Esensi lebaran bukan terletak pada kebersihan hati dan kemenangan atas hawa nafsu. Dengan mengadopsi gaya hidup minimalis, kita belajar untuk lebih menghargai hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup. Lebaran minimalis bukan berarti kehilangan kebahagiaan. Tetapi justru menempatkan kebahagiaan pada tempat yang seharusnya dalam kesederhanaan dan keikhlasan.
Dengan menerapkan lebaran minimalis dalam Hari Raya Idul Fitri maka kita tidak hanya menghemat anggaran tetapi juga menguatkan nilai-nilai spiritual. Lebaran tidak harus serba baru yang terpenting adalah hati kembali suci dengan lembaran baru.
Daripada menguras tabungan demi baju baru maka lebih baik mengalokasikannya untuk berbagi kepada mereka yang lebih membutuhkan. Sederhana bukan berarti kekurangan. Di sanalah kita menemukan kelimpahan keberkahan yang maksimalis mengalir tanpa batas.