Transportasi publik bukan sekadar alat mobilitas tetapi juga cerminan kepedulian sebuah kota terhadap warganya. Keberadaannya menjadi tulang punggung bagi banyak orang dalam menjalankan aktivitas sehari-hari diantaranya pekerja, pedagang, hingga pelajar. Sayangnya, di banyak daerah transportasi umum masih menyisakan berbagai pekerjaan rumah yang menuntut perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat.
Saat berbicara tentang transportasi umum yang ideal kita pasti menginginkan sesuatu yang murah, terjangkau, aman, nyaman, dan mudah diakses. Namun, realitas di lapangan sering kali masih jauh dari harapan.Â
Armada yang terbatas, halte yang kurang representatif, hingga kenyamanan di dalam kendaraan masih menjadi catatan yang perlu diperbaiki. Kota yang baik adalah kota yang menyediakan transportasi publik yang layak bagi setiap warganya.
Pekanbaru, sebagai salah satu kota besar di Sumatera memiliki sistem transportasi umum yang masih belajar untuk terus berkembang. Trans Metro Pekanbaru hadir sebagai salah satu solusi bagi kebutuhan mobilitas warga.Â
Setiap kali saya menaiki Trans Metro Pekanbaru, saya selalu melihat anak-anak sekolah menggunakan layanan ini untuk pulang maupun bepergian. Ini menandakan bahwa keberadaan transportasi umum sangat dibutuhkan khususnya bagi pelajar yang belum memiliki kendaraan sendiri.
Pelajar merupakan salah satu kelompok yang paling diuntungkan dengan adanya transportasi umum. Dengan tarif yang relatif terjangkau mereka bisa sampai ke rumah dengan lebih aman dan efisien. Ini tentu lebih baik daripada mereka harus berkendara sendiri dengan kendaraan pribadi yang mungkin belum mereka kuasai sepenuhnya.
Namun, keberadaan transportasi umum bukan hanya soal kendaraan yang berjalan di jalurnya. Tetapi juga bagaimana penggunanya berperilaku di dalamnya.Â
Sebuah perjalanan dengan transportasi umum bisa menjadi ruang belajar yang luas bagi karakter seseorang. Kita bisa melihat berbagai wajah manusia di dalamnya —ada yang ramah, ada yang acuh, ada yang peduli, dan ada pula yang tak peduli sama sekali.
Salah satu fenomena yang menarik perhatian saya adalah bagaimana remaja atau pelajar berperilaku saat menggunakan transportasi umum. Suatu hari, saya menaiki Trans Metro Pekanbaru sambil menggendong anak yang masih kecil. Bus penuh dan semua kursi telah diduduki oleh para penumpang. Termasuk oleh rombongan anak-anak SMP yang berjumlah sekitar 15 orang. Mereka ditemani oleh orang dewasa yang mungkin adalah orangtua atau kerabat salah satu dari mereka.
Sejak awal perjalanan, saya berdiri di dekat pintu dengan anak di gendongan. Harapan saya, mungkin ada diantara anak-anak ini yang menyadari bahwa saya membutuhkan tempat duduk. Namun, tak satupun dari mereka yang berinisiatif memberikan tempat duduknya. Mereka asyik berbicara, tertawa, dan bermain hp seolah-olah tak ada yang perlu mereka perhatikan selain diri mereka sendiri.
Kondektur atau asisten sopir yang melihat situasi ini akhirnya turun tangan. Dengan suara tegas namun tetap santun, ia meminta salah satu anak untuk memberikan kursinya kepada saya. Barulah seorang anak dengan wajah setengah enggan berdiri dan memberikan tempat duduknya. Kejadian ini membuat saya merenung tentang betapa pentingnya membangun budaya kepedulian dalam diri anak-anak sejak dini.