Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Dikelola oleh Akbar Fauzan, S.Pd.I, Guru Milenial Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Mengulik Sisi Lain Dunia Pendidikan Indonesia | Ketua Bank Sampah Sekolah, Teknisi Asesmen Nasional ANBK, Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri Diterbitkan Bentang Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ke Tukang Cukur, Sejak Kanak-kanak sampai Punya Anak

25 Januari 2025   09:31 Diperbarui: 26 Januari 2025   08:52 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konsistensi dalam sepotong kisah tukang cukur yang sudah bertahan sejak 1994 sampai hari ini. (Dok. AKBAR PITOPANG)

Di balik gemerlap barbershop yang menjamur, keberadaan tukang cukur tetap bertahan. Mereka membawa nilai-nilai konsistensi yang sulit disaingi. Bagi sebagian orang, memotong rambut di tempat ini adalah pengalaman otentik yang melampaui sekadar kebutuhan estetik.

Saya sendiri memiliki pengalaman yang tak terlupakan dengan salah satu tempat cukur yang sudah menjadi langganan sejak kecil. Tempatnya memang sederhana tetapi penuh makna yang membawa saya pada kenangan masa lalu.

Ketika saya membawa anak saya untuk mencukur rambut di sana baru-baru ini. Perasaan nostalgia seolah menyelimuti. Ruangannya masih terasa sama seperti dahulu. Ornamen dinding, kursi cukur, dan berbagai pernak-pernik yang digunakan tidak berubah.

Bapak tukang cukur yang melayani dengan senyum ramah juga tidak berubah. Ia menyapa dengan suara yang familiar. Saya merasa waktu seolah berhenti sejenak dan membawa saya kembali ke masa kecil.

Tempat cukur ini telah berdiri sejak tahun 1994. Tak terasa, 30 tahun telah berlalu. Namun, semangat sang tukang cukur tetap terjaga. Ia masih berdiri dengan gagah menyambut pelanggannya dengan tangan terampil yang piawai.

Mengingat kembali, ibu saya sering membawa saya ke tempat ini untuk potong rambut dengan gaya pendek ala militer. Kala itu, saya merasa gaya rambut tersebut terlalu "serius". Tetapi kini, saya justru tertawa mengenang masa kecil saya yang kerap menolak model potongan rambut tersebut.

Saya membawa anak saya ke tukang cukur yang menjadi langganan sejak kecil. (Dok. AKBAR PITOPANG)
Saya membawa anak saya ke tukang cukur yang menjadi langganan sejak kecil. (Dok. AKBAR PITOPANG)

Kini, giliran saya membawa anak saya untuk mencukur rambut di tempat yang sama. Ada perasaan takjub yang tak tergambarkan. Kehidupan benar-benar berputar dalam siklus yang penuh makna.

Tempat cukur tradisional ini bukan hanya sekedar bisnis melainkan juga saksi perjalanan hidup banyak orang. Ia menjadi ruang yang menyimpan ribuan cerita dari generasi ke generasi.

Meskipun banyak barbershop modern yang kini menawarkan layanan mewah dengan harga premium tapi tempat ini tetap memiliki pelanggan setia. Harganya yang terjangkau tidak mengurangi kualitas hasil potongannya. Malahan, pelanggan seringkali merasa lebih puas.

Barbershop modern memang unggul dalam estetika dan fasilitas tetapi ada kehangatan yang hanya bisa ditemukan di tempat cukur. Kehangatan ini bukan berasal dari interaksi manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun