Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Dikelola oleh Akbar Fauzan, S.Pd.I, Guru Milenial Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Mengulik Sisi Lain Dunia Pendidikan Indonesia | Ketua Bank Sampah Sekolah, Teknisi Asesmen Nasional ANBK, Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri Diterbitkan Bentang Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guyon Kasar Gus Miftah Viral: Alarm untuk Pendidikan Kita

5 Desember 2024   04:41 Diperbarui: 5 Desember 2024   07:48 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stop menormalisasi bullying lewat guyon kasar. Saatnya kita lebih bijak berucap dan bertindak. (KOMPAS/Tania Juliete)

Viralnya seorang Miftah Maulana Habiburrahman merendahkan seorang bapak penjual es teh di tengah kerumunan jamaah menjadi perbincangan panas belakangan ini. Peristiwa ini bukan sekadar cerita tentang kata-kata yang melukai, tetapi cerminan budaya masyarakat kita yang masih kerap menormalisasi perilaku merendahkan orang lain. Momen selawatan yang seharusnya menjadi ajang berbagi ilmu justru berubah menjadi panggung penghinaan.

Dalam rekaman yang beredar pak Miftah dengan lantang melontarkan kata-kata yang tidak pantas. Sontak, gelak tawa pun pecah dari rekan di sebelahnya hingga jamaah lain yang hadir.

Namun, di balik tawa itu ada seorang bapak pejuang nafkah yang berusaha menahan rasa malu. raut mukanya tak bisa menyembunyikan kekecewaan tetapi ia memilih diam. Diamnya bukan tanda setuju melainkan wujud menahan diri agar tidak memperkeruh suasana.

Fenomena seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Candaan yang berujung pada bullying seringkali dianggap biasa saja. Padahal, ketika sebuah “candaan” mulai melibatkan penghinaan terhadap harga diri seseorang maka itu bukan lagi lelucon melainkan tindakan yang menyakitkan. Inilah yang harus kita sadari bersama.

Apa yang terjadi di tengah selawatan itu memperlihatkan sisi kelam dari budaya masyarakat. Ketika sekelompok orang tertawa melihat orang lain direndahkan, tanpa sadar mereka telah menjadi bagian dari lingkaran bullying. 

Lingkaran ini tidak hanya berhenti di tempat kejadian tetapi menjalar ke masyarakat luas termasuk anak-anak dan remaja yang ikut menyaksikan.

Anak-anak adalah peniru ulung. Mereka belajar bukan hanya dari apa yang kita ajarkan tetapi juga dari apa yang mereka lihat. Ketika mereka menyaksikan tindakan merendahkan dianggap biasa bahkan disambut tawa, mereka mungkin berpikir bahwa itu hal yang wajar dilakukan. Itulah mengapa kasus bullying di sekolah masih sulit diberantas.

Ilustrasi. Belajar dari kasus Miftah Maulana Habiburrahman untuk stop candaan berlebihan ke arah bullying di sekolah. (shironosov)
Ilustrasi. Belajar dari kasus Miftah Maulana Habiburrahman untuk stop candaan berlebihan ke arah bullying di sekolah. (shironosov)

Data menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi darurat kasus bullying. Di lingkungan sekolah, tindakan kekerasan verbal maupun fisik masih terjadi. Anak-anak yang terlibat mungkin tidak sepenuhnya menyadari dampaknya. tetapi bagi korban, luka itu bisa bertahan seumur hidup.

Kita sering lupa bahwa kata-kata bisa menjadi pelipur lara, juga bisa menjadi senjata tajam yang melukai hati. Peristiwa ini mengajarkan betapa pentingnya menjaga lisan terutama di depan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun