Viralnya seorang Miftah Maulana Habiburrahman merendahkan seorang bapak penjual es teh di tengah kerumunan jamaah menjadi perbincangan panas belakangan ini. Peristiwa ini bukan sekadar cerita tentang kata-kata yang melukai, tetapi cerminan budaya masyarakat kita yang masih kerap menormalisasi perilaku merendahkan orang lain. Momen selawatan yang seharusnya menjadi ajang berbagi ilmu justru berubah menjadi panggung penghinaan.
Dalam rekaman yang beredar pak Miftah dengan lantang melontarkan kata-kata yang tidak pantas. Sontak, gelak tawa pun pecah dari rekan di sebelahnya hingga jamaah lain yang hadir.
Namun, di balik tawa itu ada seorang bapak pejuang nafkah yang berusaha menahan rasa malu. raut mukanya tak bisa menyembunyikan kekecewaan tetapi ia memilih diam. Diamnya bukan tanda setuju melainkan wujud menahan diri agar tidak memperkeruh suasana.
Fenomena seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Candaan yang berujung pada bullying seringkali dianggap biasa saja. Padahal, ketika sebuah “candaan” mulai melibatkan penghinaan terhadap harga diri seseorang maka itu bukan lagi lelucon melainkan tindakan yang menyakitkan. Inilah yang harus kita sadari bersama.
Apa yang terjadi di tengah selawatan itu memperlihatkan sisi kelam dari budaya masyarakat. Ketika sekelompok orang tertawa melihat orang lain direndahkan, tanpa sadar mereka telah menjadi bagian dari lingkaran bullying.
Lingkaran ini tidak hanya berhenti di tempat kejadian tetapi menjalar ke masyarakat luas termasuk anak-anak dan remaja yang ikut menyaksikan.
Anak-anak adalah peniru ulung. Mereka belajar bukan hanya dari apa yang kita ajarkan tetapi juga dari apa yang mereka lihat. Ketika mereka menyaksikan tindakan merendahkan dianggap biasa bahkan disambut tawa, mereka mungkin berpikir bahwa itu hal yang wajar dilakukan. Itulah mengapa kasus bullying di sekolah masih sulit diberantas.
Data menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi darurat kasus bullying. Di lingkungan sekolah, tindakan kekerasan verbal maupun fisik masih terjadi. Anak-anak yang terlibat mungkin tidak sepenuhnya menyadari dampaknya. tetapi bagi korban, luka itu bisa bertahan seumur hidup.
Kita sering lupa bahwa kata-kata bisa menjadi pelipur lara, juga bisa menjadi senjata tajam yang melukai hati. Peristiwa ini mengajarkan betapa pentingnya menjaga lisan terutama di depan publik.