Salah satu ambisi pemerintah untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia lewat pencanangan program makan bergizi gratis. Namun, ketika anggaran per anak turun dari Rp15.000 menjadi Rp10.000, banyak pihak mulai mempertanyakan bagaimana memastikan makanan bergizi dengan angka yang terlihat begitu kecil ini.
Mari kita cermati realitas harga makanan di sekitar kita. Di Pekanbaru, misalnya, harga sarapan sederhana seperti nasi goreng tanpa telur sudah mencapai Rp5.000 hingga Rp7.000. Itu baru nasi goreng tok, belum termasuk komponen gizi lainnya seperti protein atau susu.
Pemerintah juga berencana melengkapi menu dengan susu sebagai salah satu sumber protein dan kalsium. Namun, di warung saja harga susu kemasan berkisar Rp4.000. Jika Rp4.000 digunakan untuk susu, sisa Rp6.000 harus mencakup makanan lengkap. Bagaimana hal ini mungkin tersaji?
Antar daerah memiliki harga bahan makanan belum tentu sama. Di kota besar seperti Jabodetabek harga makanan jauh lebih mahal dibandingkan daerah lain. Anggaran Rp10.000 mungkin cukup di satu daerah tetapi menjadi sulit diterapkan di tempat lain.
Sebagai seorang guru, saya sering memperhatikan bekal siswa di sekolah. Beberapa siswa membawa bekal dibelikan nasi dengan ayam goreng takeaway. Harganya? Di atas Rp10.000. Apa yang bisa diharapkan dengan anggaran pemerintah yang lebih kecil dari itu?
Jika program ini tidak dikelola dengan bijak maka ada risiko bahwa menu yang disediakan mungkin hanya lebih dominan karbohidrat dan minim protein, vitamin, serta mineral. Pola makan seperti ini justru berpotensi memicu masalah kesehatan lain.
Apa sebenarnya definisi makanan bergizi?Â
Menurut Kementerian Kesehatan, makanan bergizi harus seimbang mengandung karbohidrat, protein, lemak sehat, serta vitamin dan mineral. Dengan anggaran Rp10.000, bagaimana semua elemen ini bisa tersaji?
Para vendor atau penyedia makanan harus berpikir kreatif untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anak dengan anggaran yang ada.Â