Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Dikelola oleh Akbar Fauzan, S.Pd.I, Guru Milenial Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Mengulik Sisi Lain Dunia Pendidikan Indonesia | Ketua Bank Sampah Sekolah, Teknisi Asesmen Nasional ANBK, Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri Diterbitkan Bentang Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Apa yang Sebenarnya Kita Butuhkan dari Ujian Nasional?

13 November 2024   04:37 Diperbarui: 13 November 2024   11:38 3402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana tentang kembalinya Ujian Nasional (UN) kembali menggema dan menggiring beragam reaksi dari pengamat dan masyarakat. Sejumlah pihak merasa optimis bahwa UN bisa menjadi penawar atas permasalahan pendidikan saat ini, sedangkan yang lain justru skeptis, melihatnya sebagai langkah mundur yang kontraproduktif.

Sebagai sebuah sistem penilaian, UN pernah menjadi patokan pencapaian akademik siswa Indonesia, bahkan acap kali dianggap sebagai tiket menuju kesuksesan dalam belajar (baca: kelulusan). Namun, upaya menuju kesuksesan itu seringkali dibayangi oleh tekanan besar yang utamanya dirasakan siswa.

Pelaksanaan UN kerap menjadi momok bagi sebagian besar siswa. Ketegangan pada aspek kesehatan mental dan tekanan dari ekspektasi tinggi, baik dari sekolah maupun orangtua, menciptakan suasana yang kurang kondusif dan kadang dramatis.

Ketika penghapusan UN, ada harapan agar sistem pendidikan bisa lebih menekankan pada aspek pembelajaran yang holistik tanpa tekanan ujian. Namun, penghapusan ini juga membawa dampak lain yang tak terduga.

Banyak laporan di lapangan menunjukkan bahwa setelah UN dihapus, semangat belajar siswa menurun. Siswa-siswa seperti kehilangan motivasi belajar yang dulu mendorong mereka untuk berusaha lebih keras.

Anak didik yang cenderung malas atau kurang disiplin dalam belajar tetap bisa naik kelas, bahkan lulus dengan nilai yang cukup baik tertera di rapor. Ini memunculkan persepsi bahwa proses pendidikan tidak lagi menantang, sehingga keseriusan dalam belajar mulai berkurang.

Di sisi lain, guru dan orangtua mulai merasakan ada penurunan kualitas kemampuan siswa, terutama dalam hal literasi, numerasi, dan kemampuan berpikir kritis. Siswa terlihat kesulitan memahami materi yang lebih kompleks.

Fenomena ini memicu keinginan dari beberapa kalangan untuk mengembalikan UN, dengan harapan bisa mengembalikan standar belajar yang lebih ketat (baca: serius dan bersungguh-sungguh) dan mendorong siswa untuk berusaha lebih keras dalam pencapaian akademik.

Para rekan guru pun merasa UN bisa menjadi tolok ukur yang lebih jelas bagi pencapaian siswa. Mereka berpendapat bahwa ujian ini bisa mengembalikan tantangan dalam belajar. Sekaligus membantu menyeleksi siswa yang memang memiliki daya juang tinggi.

Namun, kembali ke UN tanpa memahami tujuannya dapat berujung pada kesalahan yang sama seperti UN model lama. Jika UN hanya diadakan untuk mengulang sejarah yang telah terjadi, itu hanya akan menjadi beban tambahan yang tidak menghasilkan perbaikan atau dampak nyata dalam sistem pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun