Dalam mencapai keberhasilan proses belajar mengajar di sekolah, kehadiran siswa di kelas menjadi aspek yang sangat penting. Pembelajaran tatap muka seperti yang diterapkan saat ini memang menuntut siswa untuk hadir di sekolah agar bisa mengikuti setiap kegiatan belajar yang telah direncanakan. Lain halnya saat pandemi, ketika pembelajaran dilakukan secara daring. Seiring kembali diterapkannya metode pembelajaran tatap muka, kehadiran di kelas kembali menjadi indikator penting untuk kelancaran proses belajar.
Tentu saja, ada situasi-situasi tertentu yang mengizinkan siswa untuk tidak hadir ke sekolah. Misalnya, ketika siswa sedang sakit atau ada halangan mendesak yang memaksa mereka absen.Â
Dalam kondisi demikian, guru akan dengan mudah memahami dan menerima alasan siswa yang tidak bisa hadir di kelas, asalkan alasannya jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Namun, yang sering terabaikan oleh sebagian orangtua adalah bahwa kehadiran anak di sekolah bukan hanya soal rutinitas belajar, tetapi juga berkaitan erat dengan aspek pendidikan karakter.Â
Ketidakhadiran yang tidak terkontrol dan didukung dengan alasan yang tidak jujur justru bisa memberi dampak negatif terhadap pembentukan karakter anak, terutama dalam hal kejujuran dan integritas.
Pentingnya kejujuran menjadi faktor utama dalam menjaga komunikasi antara sekolah dan orangtua. Saat anak tidak bisa hadir karena alasan yang valid, misalnya sakit, tidak ada masalah jika orangtua memberi tahu guru dengan alasan yang sebenar-benarnya.Â
Namun, yang perlu ditekankan di sini adalah kejujuran dalam menyampaikan alasan ketidakhadiran.Â
Di era digital seperti saat ini, orangtua punya kemudahan untuk berkomunikasi dengan guru misalnya melalui aplikasi perpesanan instan. Misalnya, mereka bisa mengirim chat secara langsung untuk memberitahukan bahwa anaknya tidak masuk karena sakit, dan surat keterangan dokter bisa menyusul.Â
Ini tentunya mempermudah komunikasi dan memperkuat hubungan antara orangtua dan guru di sekolah.
Sayangnya, ada kasus dimana orangtua memberikan alasan yang tidak jujur kepada guru tentang ketidakhadiran anak mereka. Situasi seperti ini tidak hanya mengganggu proses komunikasi, tetapi juga bisa merusak nilai-nilai kejujuran yang sedang dibangun pada anak didik.Â
Anak-anak yang tidak memahami situasi ini seringkali membocorkan fakta yang sebenarnya kepada teman-temannya, yang kemudian bisa sampai juga ke telinga guru.