Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Dikelola oleh Akbar Fauzan, S.Pd.I, Guru Milenial Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Mengulik Sisi Lain Dunia Pendidikan Indonesia | Ketua Bank Sampah Sekolah, Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri Diterbitkan Bentang Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Doom Spending dan Godaan Utang Masa Kini di Kalangan Guru

8 Oktober 2024   09:19 Diperbarui: 8 Oktober 2024   18:50 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru dan godaan utang: pinjol dan paylater. (dari materi workshop yang diikuti Akbar Pitopang)

Di tengah tuntutan pendidikan yang semakin tinggi, ironisnya banyak guru di Indonesia menghadapi tantangan finansial yang serius. Fenomena guru yang terjerat pinjaman online (pinjol) bukan sekadar isu, melainkan sebuah realita dan cerminan dari kesenjangan yang telah lama mengakar. Guru, sebagai sosok penting dalam proses pendidikan, justru kerap berada dalam posisi terjepit karena kebutuhan hidup yang tak terelakkan. Dalam situasi ini, berutang menjadi solusi instan tapi berisiko tinggi bagi para guru yang mencari "jalan tikus" dari masalah finansial.

Gaji guru, terutama yang berstatus honorer, masih jauh dari kata cukup. Banyak dari mereka harus berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari, membayar biaya pendidikan anak, hingga pembiayaan kesehatan keluarga. 

Dengan penghasilan yang terbatas, seringkali mereka merasa tidak memiliki pilihan lain selain memanfaatkan kemudahan pemberian hutang yang ditawarkan, diantaranya pinjol yang dapat diakses dengan gampang dari handphone. 

Fenomena guru berutang sesungguhnya sudah berlangsung lama. Dulu, guru kerap berutang kepada bank atau koperasi sebagai solusi finansial. Namun, dengan pesatnya perkembangan teknologi, opsi pinjaman menjadi semakin bervariasi termasuk lewat pinjol.

Dalam situasi seperti ini, guru yang sudah tertekan oleh tuntutan pekerjaan, justru menambah beban dengan tekanan finansial yang tak kunjung usai.

Ironisnya, budaya berutang di kalangan guru seakan menjadi pola yang terus berulang dari waktu ke waktu. Ada kalanya karena kebutuhan, tapi ada kalanya karena faktor "doom spending" yang diartikan perilaku belanja yang cenderung impulsif.

Di balik semua ini, masalah kesejahteraan guru masih menjadi isu yang belum sepenuhnya terpecahkan. Gaji yang tidak sebanding dengan beban pekerjaan, serta kurangnya dukungan finansial dari pemerintah, membuat banyak guru terpaksa mencari solusi cepat untuk mengatasi kebutuhan hidup. 

Jika kesejahteraan mereka ditingkatkan, bukan tidak mungkin fenomena seperti terjerat pinjol ini bisa diminimalisir. Dengan gaji yang layak, guru bisa lebih fokus pada tugas mendidik tanpa dibayangi masalah finansial yang menghantui.

Penting untuk dicatat, guru bukan hanya pilar penting dalam mencetak generasi penerus bangsa, tetapi juga pencari nafkah bagi keluarganya. 

Ketika mereka terjebak dalam krisis finansial, dampak stres akibat beban utang dapat mempengaruhi kinerja mereka di ruang kelas, mengurangi kualitas pendidikan yang seharusnya mereka hadirkan.

Godaan kredit dan dilema kebutuhan. Guru berhutang karena banyak yang nawarin. Contohnya ini penjual karpet. (Foto: Akbar Pitopang)
Godaan kredit dan dilema kebutuhan. Guru berhutang karena banyak yang nawarin. Contohnya ini penjual karpet. (Foto: Akbar Pitopang)

Mengapa Guru Terjebak dalam Jeratan Utang

Fenomena guru yang berutang kerapkali bukan semata karena minimnya pendapatan, tapi juga karena banyaknya godaan kredit dan atau cicilan yang datang tanpa henti. 

Dalam keseharian, guru berhadapan dengan berbagai tawaran menarik, mulai dari kredit tanpa bunga hingga cicilan dengan tenor panjang. 

Penawaran-penawaran ini sering disampaikan dengan bahasa marketing yang menggoda, membuat guru yang awalnya tidak berniat berhutang akhirnya tergoda untuk ikut serta. 

Iming-iming kemudahan ini terkadang begitu sulit ditolak, apalagi saat kebutuhan sudah mendesak.

Di sekolah-sekolah, tak jarang ada penjual yang datang, menawarkan berbagai produk dengan pendekatan ramah, seolah hanya untuk "cuci mata". Namun, ketika produk yang ditawarkan ternyata sangat diperlukan ---seperti peralatan dapur atau kebutuhan rumah tangga--- guru merasa terjebak dalam situasi di mana mereka harus membeli, meski itu artinya berutang. 

Skema cicilan yang tampaknya ringan membuat keputusan berutang semakin mudah, bahkan tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang.

Godaan semacam ini diperparah dengan kurangnya kesadaran meski pemahaman finansial sudah memadai. Banyak guru sebenarnya sudah cukup memahami risiko yang mengintai di balik kemudahan kredit yang ditawarkan. 

Terjebak dalam ilusi "tanpa bunga" atau cicilan ringan yang sebenarnya dapat membebani keuangan dalam jangka panjang. Di tengah tuntutan hidup yang semakin berat, pilihan berhutang menjadi jebakan yang sulit dilepaskan.

Ketika pemasukan tidak mencukupi, godaan kredit menjadi semakin sulit dihindari. Lalu membuat banyak guru akhirnya terperangkap dalam jerat hutang yang berkepanjangan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa guru tidak hanya membutuhkan perhatian dalam hal profesionalisme, tetapi juga dalam hal kesejahteraan finansial. Tanpa edukasi keuangan yang memadai dan upaya peningkatan gaji yang signifikan, godaan kredit akan terus mengintai, dan banyak guru akan terus terjebak dalam lingkaran utang yang tak berujung.

Guru dan godaan utang: pinjol dan paylater. (dari materi workshop yang diikuti Akbar Pitopang)
Guru dan godaan utang: pinjol dan paylater. (dari materi workshop yang diikuti Akbar Pitopang)

Guru Wajib Mengelola Keuangan di Tengah Tawaran Utang

Setiap hari, guru dihadapkan pada godaan-godaan finansial yang datang dari berbagai arah. Dalam sepekan ini saja, sudah ada tiga penawaran cicilan yang mampir ke sekolah.

Ada dari penjual karpet tebal yang menawarkan cicilan 10 bulan tanpa bunga, hingga pihak bank yang menawarkan pembuatan kartu kredit secara gratis tanpa biaya administrasi dengan iming-iming diskon dan promo menarik. 

Penawaran ini tampak menggiurkan, apalagi ketika barang yang ditawarkan tergolong kebutuhan primer atau sekunder yang sulit diperoleh dengan cara tunai. 

Bagi banyak guru, berutang dan mencicil barang melalui gaji bulanan tampak seperti "tradisi". Mereka terbiasa melakukannya sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan tanpa harus mengorbankan pengeluaran besar dalam satu waktu. 

Bahkan, hingga masa pensiun pun, tawaran pinjaman dana dari bank untuk modal usaha juga silih berganti bermunculan, seolah menegaskan bahwa hidup dengan utang dan kredit adalah bagian dari kehidupan guru. 

Nah, tanpa pengelolaan yang bijak, utang ini bisa menjadi beban yang terus menghantui, bahkan hingga purnabakti.

Tawaran kredit atau cicilan tanpa bunga kerap terlihat sebagai solusi yang sempurna, tetapi perlu diingat bahwa tidak semua hutang itu baik. Ada utang yang produktif, yaitu utang yang bisa meningkatkan kualitas hidup atau mendukung perencanaan jangka panjang, seperti kredit rumah atau modal usaha. 

Namun, jika utang hanya untuk kebutuhan konsumtif semata, guru perlu berhati-hati. Ketika jumlah utang menumpuk tanpa diimbangi kemampuan melunasi, beban finansial yang terus meningkat bisa membuat guru terjerat dalam siklus utang yang sulit diakhiri.

Mengelola keuangan dengan bijak adalah kunci agar guru terhindar dari jeratan utang yang berlebihan. Sebelum memutuskan untuk mengambil cicilan, guru harus menimbang dengan matang apakah barang atau jasa tersebut benar-benar diperlukan, atau hanya dorongan sesaat. 

Data menunjukkan bahwa guru adalah nomor 1 terjebak pinjaman online. (dari materi workshop yang diikuti Akbar Pitopang)
Data menunjukkan bahwa guru adalah nomor 1 terjebak pinjaman online. (dari materi workshop yang diikuti Akbar Pitopang)

Selain itu, penting juga untuk menghitung kembali penghasilan bulanan, memprioritaskan kebutuhan dasar, dan memastikan bahwa cicilan yang diambil tidak melebihi batas kemampuan pembayaran. 

Jangan sampai cicilan yang tampak ringan di awal justru menjadi beban yang berat di kemudian hari.

Dalam beberapa kasus, tekanan dari tunggakan utang bisa mendorong "oknum" guru melakukan tindakan yang tak terpuji. 

Ada guru yang terjepit masalah finansial bisa saja tergoda untuk menyelewengkan dana BOS, tabungan murid, atau sumber dana lainnya. 

Kasus-kasus seperti ini mencoreng integritas profesi guru, yang seharusnya menjadi teladan bagi para siswa dalam hal kejujuran dan tanggung jawab.

Oleh karena itu, penting bagi guru untuk memiliki literasi keuangan yang baik agar dapat mengelola pemasukan dan pengeluaran dengan lebih bijak. 

Edukasi finansial harus menjadi bagian dari pengembangan diri seorang guru, bukan hanya untuk menghindari jebakan utang, tetapi juga untuk menjaga martabat profesi yang diemban sepenuh hati. 

Guru harus pandai-pandai menimbang kapan harus mengambil kredit, dan kapan sebaiknya menahan diri. Dengan begitu, guru bisa menjalani hidup dengan lebih tenang dan fokus pada tugas mulia mereka ---mendidik generasi penerus bangsa.

Guru yang mampu mengelola keuangannya dengan baik tidak hanya akan terbebas dari tekanan finansial, tetapi juga mampu menjadi teladan bagi murid dan masyarakat di sekitarnya.

Semoga ini bermanfaat..

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun