Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Best Teacher 2022 dan Best In Specific Interest Nominee 2023 | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Stop Menormalisasi Emak-emak "Caper" kepada Guru (Muda)

30 September 2024   11:58 Diperbarui: 30 September 2024   22:22 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjaga jarak aman dalam membangun etika interaksi guru dan murid. | ilustrasi: huitu.com

Kasus asusila seorang guru dengan siswinya yang baru-baru ini terjadi di Gorontalo menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan. Kejadian ini seakan membuka mata kita bahwa meski kehangatan dan kedekatan adalah bagian penting dalam membangun ikatan di lingkungan sekolah, tetap ada batasan yang harus dijaga. Sekolah sebagai institusi pendidikan memiliki peran besar dalam menegakkan etika dan norma demi menjaga integritas hubungan dan atau interaksi antar warga sekolah.

Hubungan antara guru dan siswa harus dibangun dengan dasar profesionalisme. Guru sebagai pendidik dan role model, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan interaksi yang terjadi di dalam dan luar kelas selalu berada dalam koridor etis atau sesuai kode etik. 

Kedekatan emosional yang sehat tentunya diperlukan untuk mendukung proses belajar, tetapi penting bagi guru untuk tidak pernah mengaburkan prinsip profesionalisme dalam bentuk apapun.

Perlu diingat bahwa siswa adalah individu yang masih dalam proses pembentukan karakter. Mereka rentan dan mudah terpengaruh oleh figur pengayom seperti guru. 

Hal inilah yang menuntut para guru untuk tidak hanya fokus pada aspek akademik, tetapi juga berperan sebagai pendidik akhlak, pembentuk karakter, dan pengarah moral yang menjaga nilai-nilai luhur. 

Maka sekolah seharusnya menjadi lingkungan yang aman bagi setiap individu di dalamnya. Oleh karena itu, penting bagi sekolah untuk memiliki kebijakan yang jelas mengenai kode etik perilaku antara guru, siswa, dan orangtua. 

Kejelasan mengenai batas-batas interaksi ini perlu selalu disosialisasikan dan dipahami oleh semua pihak. Sehingga semua warga sekolah bisa bekerja sama dengan nyaman dan saling menghormati.

Kasus di Gorontalo ini juga menjadi pengingat bagi kita semua bahwa teknologi dan media sosial dapat menjadi pedang bermata dua. Interaksi antara guru dan siswa, meskipun terlihat wajar, tetap harus diatur secara bijaksana. Keleluasaan berkomunikasi secara daring bisa menimbulkan celah bagi pelanggaran batas profesional, apabila tidak diawasi dengan ketat.

Nah, menjaga batasan dalam setiap interaksi di sekolah merupakan tanggung jawab bersama. Guru, siswa, orangtua, dan juga pihak sekolah harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang kondusif, aman, dan profesional. 

Jika kita mampu menjaga batasan ini dengan baik, insiden seperti yang terjadi di Gorontalo dapat dihindari, dan dunia pendidikan akan menjadi tempat yang lebih baik untuk masa depan generasi penerus bangsa.

Guru muda dan wali murid. Bercanda boleh, asal ada batasan meski di media sosial. | ilustrasi via dream.co.id
Guru muda dan wali murid. Bercanda boleh, asal ada batasan meski di media sosial. | ilustrasi via dream.co.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun